UU Anti-Berita Palsu di Singapura Dianggap Ancam Kebebasan Berbicara

UU Anti-Berita Palsu di Singapura Dianggap Ancam Kebebasan Berbicara
UU Anti-Berita Palsu di Singapura Dianggap Ancam Kebebasan Berbicara
UU Anti-Berita Palsu di Singapura Dianggap Ancam Kebebasan Berbicara Photo: Perdana Menteri Lee Hsien Long mengatakan Singapura adalah ‘negara yang sangat terbuka’. (AP: Vincent Thian)

Yang paling kontroversial, undang-undang itu tak hanya berlaku untuk forum online tetapi juga pesan pribadi yang dikirim melalui platform pesan terenkripsi seperti WhatsApp dan Telegram. Belum jelas bagaimana aspek hukum ini akan ditegakkan.

Wartawan yang berbasis di Singapura, Kirsten Han, mengatakan kepada ABC bahwa pemerintah di sana tampaknya "tidak mau mempertimbangkan amandemen."

Pemerintah telah membela RUU itu, dengan mengatakan aturan itu perlu dan bahkan bermanfaat untuk kebebasan berbicara.

Menteri Dalam Negeri Singapura, Kasiviswanathan Shanmugam, mengklaim sanksi pidana hanya akan berlaku dalam kasus pembagian informasi palsu yang disengaja.

"Meneruskan postingan yang tak disengaja tidak akan menyebabkan tanggung jawab pidana," katanya seperti dikutip oleh surat kabar Singapura, The Straits Times.

"Kami adalah negara yang sangat terbuka ... [tetapi] kami harus menetapkan batas yang tepat yang akan memungkinkan kami untuk melindungi kebebasan berbicara dan memungkinkan orang untuk bertukar informasi, pemikiran dan pendapat dengan cara yang bermakna," kata Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, kepada televisi lokal dalam sebuah wawancara pada akhir April.

The Straits Times mendukung rancangan undang-undang tersebut dalam tajuk rencana yang menyatakan bahwa undang-undang itu "menyediakan lingkungan yang waspada untuk menjaga masyarakat aman dari para pelaku kejahatan".

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News