UU Perampasan Aset, Senjata untuk Kejagung agar Pengembalian Uang Negara Maksimal

jpnn.com, JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengaku setuju jika penanganan kasus rasuah, khususnya pengusutan aset (asset tracing) dan pengembalian kerugian negara (asset recovery), tidak bisa optimal karena Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset belum disahkan.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa waktu yang lalu.
"Apa yang disampaikan Kejagung itu betul," ungkap Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (12/12).
Menurut Boyamin, ada beberapa hal yang tertuang dalam RUU Perampasan Aset belum diatur dalam regulasi yang ada sekarang, misalnya, pembuktian terbalik.
Pembuktian terbalik belum ada di UU Pemberantasan Korupsi (dan) TPPU.
"Pada UU Perampasan Aset itu diatur materi tentang pembuktian terbalik. Sepanjang tidak bisa membuktikan sebab halal itu, maka kemudian dirampas/diambil sebagai hasil tindak pidana," tuturnya.
Boyamin menyebut melalui RUU Perampasan Aset aparat penegak hukum juga bisa menyita harta pelaku kasus korupsi atau tindak pidana lain, seperti narkoba, terorisme, dan judi, sekalipun bukti minim tetapi terkait dengan pidana yang dilakukan.
"Misalnya, meskipun satu hari ini ada 10 transaksi (dan) yang bisa dibuktikan adalah 3 transaksi, maka yang 7 bisa dianggap (hasil kejahatan) karena pola yang sama itu," jelasnya.
Maki menilai kasus rasuah, khususnya pengusutan aset dan pengembalian kerugian negara tidak bisa optimal karena RUU Perampasan Aset belum disahkan
- Yunus Wonda Diminta Bertanggung Jawab di Kasus PON XX Papua
- MUI Dukung Kejagung Membongkar Habis Mafia Peradilan
- Zarof Ricar Tersangka TPPU, Kejagung Bisa Sita Semua Asetnya
- Eks PJ Wali Kota Pekanbaru dan 2 Anak Buahnya Akui Terima Gratifikasi Miliaran Rupiah
- 2 Hakim Ini Diperiksa Kejagung terkait Kasus Suap Rp 60 Miliar
- Kejagung Garap Dirkeu Adaro Setelah Periksa Petinggi Berau Coal & Pamapersada