Waduh, Konsumsi Daging Asia Mempercepat Kerusakan Lingkung

Waduh, Konsumsi Daging Asia Mempercepat Kerusakan Lingkung
Penjual daging. Ilustrasi Foto: Cecep Mulyana/dok.JPNN.com

Sapi merupakan hewan yang gemar kentut. Tiap kali buang gas, ada gas metana yang terlepas. Gas itu juga ada pada kotoran sapi. Gas metana yang terlepas ke udara itulah yang memicu pemanasan global. Jika dibandingkan dengan karbon dioksida, emisi metana 23 kali lipat lebih banyak. Maka, metana jauh lebih digdaya memicu pemanasan global.

Tan juga menjelaskan bahwa peningkatan permintaan daging otomatis membuat kebutuhan lahan peternakan kian tinggi. Pada 2050, dunia membutuhkan peternakan seluas India. Negeri Bollywood itu memiliki area seluas 3.287.263 kilometer persegi atau hampir dua kali lipat luas Indonesia.

Di India, ekspor daging menjadi salah satu pemasukan terbesar negara. Bukan sapi tentu saja, melainkan kerbau dan ternak sejenisnya. Sebab, di India, sapi merupakan hewan yang sakral.

Banyaknya ternak dan rantai produksi daging juga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Yaitu, dari 2,9 miliar ton karbon dioksida (CO2) menjadi 5,4 miliar ton per tahun. Itu setara dengan emisi seumur hidup 95 juta mobil.

Peternakan juga membuat konsumsi air melonjak sampai 83 persen. Yaitu, dari 577 miliar meter kubik menjadi 1.054 miliar meter kubik per tahun.

Selain itu, pemakaian antibiotik akan naik. Saat ini kenaikannya mencapai 44 persen. Dari sekitar 27 ribu ton menjadi kira-kira 39 ribu ton.

Ditakutkan, penggunaan antibiotik berlebih akan menimbulkan resistansi. FAO pernah menyatakan bahwa antibiotik kerap disalahgunakan dan dipakai dalam dosis berlebihan di negara-negara Asia Tenggara.

’’Meningkatnya konsumsi daging dan makanan laut di Asia adalah resep kehancuran lingkungan. Kecuali, kita bisa secepatnya merumuskan solusi,’’ kata Tan.

Meningkatnya konsumsi daging juga terjadi di negara-negara Asia berkontribusi besar terhadap rusaknya lingkungan

Sumber Jawa Pos

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News