Wang Buliau

Oleh: Dahlan Iskan

Wang Buliau
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya akan bermata gelap: potongan ke 13 akan saya minta dibungkus. Dibawa pulang.

Tentu kepala ikannya saya tinggal di piring. Tahu bahwa potongan ke 13 itu untuk istri di rumah, Pak Tirto maksa agar kepala itu pun diikutkan dalam bungkusan.

Dalam hati saya memuji Tuhan: alangkah bergairahnya istri saya nanti membuka bungkusan itu.

Saya sengaja tidak mau menuliskan di sini seperti apa rasa ikan itu. Betapa enaknya. Yang jelas lebih enak dari ikan langka yang ada di Yangzhong, Provinsi Jiangshu. Yang satu ekor Rp 5 juta itu. Yang hanya ada di dua minggu dalam setahun. Yang saya makan akhir April lalu.

Wang Buliau ini tidak kalah mahal. Satu ekor yang di meja makan itu seharga Rp 6 juta. Mirip dengan yang di Yangzhou, tulangnya juga banyak. Panjang-panjang. Tidak bahaya.

Chef tahu bahwa ikan ini mahal. Maka ia harus memaksimalkannya: tulangnya untuk sop. Disajikan yang pertama. Untuk membuka selera. Sop tulang ikan Wang Buliau. Di tulang itu masih sedikit menempel daging-dagingnya. Enak untuk diisap-isap di mulut.

Lalu kulit bagian luarnya, sisiknya, digoreng kering. Entah dicampur apa. Enak sekali. Kriuk-kriuk. Untuk bisa mengambil sisik itu ikannya direbus dulu. Sisiknya bisa lepas dengan mudah.

Mengapa Wang Buliau begitu mahal? Mengapa tidak banyak yang menternakkannya?

Anda sudah tahu: wang buliau artinya 'tak terlupakan'. Tetapi Malaysia mengubah itu menjadi nama ikan. Saking enaknya. Seperti halnya durian luwak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News