4.000 Peacekeepers: Pilihan atau Keniscayaan?

Oleh : Agus Harimurti Yudhoyono*

4.000 Peacekeepers: Pilihan atau Keniscayaan?
4.000 Peacekeepers: Pilihan atau Keniscayaan?

jpnn.com - MINGGU lalu, saat meresmikan Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia atau Indonesia Peace and Security Center (IPSC) di Sentul, Jawa Barat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutarakan visi strategis terkait dengan kontribusi Indonesia dalam perdamaian dan keamanan dunia. “Kita ingin menambah jumlah peacekeepers kita sampai dengan 4.000 personel.”

Tapi, dia mengingatkan bahwa penambahan jumlah saja tidak cukup. Dibutuhkan berbagai upaya dalam rangka menyiapkan personel-personel terbaik, TNI maupun Polri, untuk mampu mengemban berbagai misi perdamaian di masa depan, yang dipastikan semakin kompleks dan penuh dengan ketidakpastian.

Mengapa 4.000 peacekeeper? Angka tersebut dipandang cukup realistis sebagai sasaran kuantitatif peningkatan kontribusi Indonesia

Saat ini sekitar 1.800 personel TNI dan Polri menggunakan helm biru di sejumlah misi, di Lebanon, Kongo, Sudan, Liberia, Sahara Barat, dan Haiti. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada urutan ke-17 dalam daftar 20 Negara Kontributor Terbesar Pasukan Perdamaian Dunia.

Sebagai ilustrasi, dengan 8.200 personel, Pakistan menjadi negara kontributor terbesar. Berikutnya Bangladesh dan India. Masing-masing menyumbangkan lebih dari 7.000 personel. Jika kita dapat menambah 2.200 personel lagi, Indonesia akan naik ke peringkat ke-8 dunia, tepat di belakang Nepal, yang hari ini menyumbangkan 4.500 peacekeepers.

Diskusi tentang gagasan penambahan jumlah personel dalam operasi perdamaian tersebut berkembang tidak hanya di tubuh TNI maupun Polri, tapi juga di sejumlah lembaga eksekutif terkait, parlemen, media massa, jejaring sosial, maupun ruang-ruang publik lainnya. Dalam prosesnya tentu muncul sikap pro dan kontra yang dibarengi dengan berbagai alasan. Tidak sedikit yang mendukung visi 4.000 peacekeepers.

Kelompok ini merujuk pada amanah konstitusi dan mengangkat sentimen idealis seputar solidaritas, semangat kepahlawanan, dan kehormatan bangsa. Kelompok lain beranggapan bahwa pengiriman pasukan Garuda, apalagi penambahan jumlah personel, merupakan sesuatu yang unnecessary.

Secara pragmatis, sebenarnya paling tidak ada dua hal yang mendasari kepentingan Indonesia dalam misi perdamaian dunia. Pertama, partisipasi aktif kita merupakan bukti konkret bahwa Indonesia saat ini telah menjadi kekuatan regional dan salah satu “global player” yang bertanggung jawab. Melalui politik luar negeri bebas dan aktifnya, tentu Indonesia me­ngedepankan diplomasi dan sejumlah format “soft power” lainnya. Kontribusi dalam peacekeeping mission adalah salah satunya, bahkan dalam konteks hubungan internasional kerap diyakini sebagai bentuk diplomasi yang paling efektif.

MINGGU lalu, saat meresmikan Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia atau Indonesia Peace and Security Center (IPSC) di Sentul, Jawa Barat, Presiden

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News