4.000 Peacekeepers: Pilihan atau Keniscayaan?

Oleh : Agus Harimurti Yudhoyono*

4.000 Peacekeepers: Pilihan atau Keniscayaan?
4.000 Peacekeepers: Pilihan atau Keniscayaan?

Kedua, pengiriman pasukan perdamaian dunia merupakan tantangan, sekaligus peluang tersendiri bagi institusi TNI dan Polri. Patut disyukuri, walaupun masih terdapat sejumlah tantangan keamanan dalam negeri, wajah Indonesia saat ini sangat berbeda daripada era-era sebelumnya, ketika Aceh masih membara dan konflik-konflik komunal berbasis SARA serta aksi terorisme masih terjadi di berbagai wilayah tanah air.

Terhadap kekhawatiran pihak tertentu terkait dengan kebutuhan anggaran yang besar dalam rangka mendukung operasi perdamaian dunia, sebenarnya yang menarik adalah bahwa PBB mengatur sistem reimbursement. Negara kontributor peacekeeper akan mendapatkan penggantian terhadap biaya yang telah dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan penyiapan, pengiriman, dan operasionalisasi pasukan termasuk alutsista dan dukungan logistik lainnya.

Artinya, tentu negara harus memiliki kesiapan anggaran (APBN) untuk dukungan awal sampai dengan dana reimbursement PBB dapat dicairkan melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. Memahami skema tersebut dapat dikatakan tidak ada kerugian bagi Indonesia untuk meningkatkan kontribusinya dalam perdamaian dunia, termasuk menambah jumlah peacekeepers sampai dengan 4.000 personel.

Sejak 2011 Indonesia telah memiliki Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP). Luas areal dan kelengkapan fasilitas latihan yang tersedia di dalamnya tidak hanya menjadikan lembaga ini sebagai salah satu peacekeeping center yang terbesar, tapi juga yang terbaik di dunia. Pembangunan kompleks ini bernilai strategis. Pertama, inisiatif ini merupakan bukti nyata bahwa Indonesia sangat serius dalam upaya-upaya perdamaian dunia. Kedua, untuk yang pertama, Indonesia yang sebenarnya sudah aktif mengirim pasukan Garuda sejak tahun 1957 memiliki institusi yang didedikasikan secara khusus untuk menangani pe­nyiapan personel yang akan ditugaskan ke berbagai zona konflik di dunia.

Di PMPP, para prajurit akan dilengkapi dengan berbagai kecakapan, antara lain penguasaan terhadap bahasa dan budaya lokal, diplomasi dan negosiasi, serta pemahaman terhadap prinsip-prinsip HAM dan hukum humaniter. Yang yuga penting adalah keterampilan di dalam mengaplikasikan doktrin peacekeeping.

Doktrin ini tentu berbeda dengan doktrin pertempuran militer konvensional. Dalam doktrin bertempur, prajurit dihadapkan dengan musuh, ia harus memilih antara kill or to be killed. Dalam dunia peacekeeping, kita tidak berhadapan dengan musuh. Tugas pokok kita adalah menjadi penengah di antara aktor-aktor yang bertikai, sekaligus mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap kesepakatan damai yang dicapai sebelumnya.

Tugas semacam ini bukan tanpa risiko. Bahkan, kadang situasinya menjadi lebih kompleks. Berada di tengah-tengah dua kekuatan yang saling menyerang, sedangkan otoritas untuk menggunakan senjata bagi peacekeepers sangat dibatasi.

Dengan semakin baik kita menyiapkan pasukan perdamaian dunia, Indonesia akan memantapkan reputasinya sebagai bangsa yang benar-benar cinta damai. Reputasi semacam ini menjadi sangat penting dan relevan dalam konteks hubungan antarbangsa di abad ke-21. Bukan hanya sebagai wujud implementasi dari pilihan politik luar negeri kita, yaitu bebas dan aktif serta million of friends and zero enemy, kontribusi yang semakin besar di PBB, termasuk peran yang semakin aktif dalam memediasi konflik-konflik di kawasan Asia Tenggara, merupakan keniscayaan bagi Indonesia.

MINGGU lalu, saat meresmikan Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia atau Indonesia Peace and Security Center (IPSC) di Sentul, Jawa Barat, Presiden

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News