Ada Kesamaan Cerita dari Para Pekerja COVID-19 di Australia dan Indonesia

Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar di Surabaya berkahir, Anggara mengikuti tantangan 31 hari siap adaptasi, sebuah program relawan yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Termasuk diantara tugasnya adalah 'tracing' atau menelusuri orang-orang yang pernah melakukan kontak langsung dengan mereka yang dinyatakan positif COVID-19.
Anggara pernah ditempatkan di salah puskesmas di Surabaya untuk melakukan 'tracing'.
Baca juga:
- Membuat pagar pemisah: Tingginya stigma terhadap pasien COVID-19 di Indonesia
- Pandemi COVID-19 ciptakan keterampilan baru bagi perempuan Indonesia yang kini jadi tulang punggung keluarga
- Ekonomi di Indonesia 'dibuka terlalu cepat', tapi bantuan untuk warga terkendala
Ia meminta warga untuk memberikan data pribadinya, termasuk KTP, serta menanyakan sudah berpergian kemana, berapa orang tinggal di rumah.
"Yang sulit itu adalah warga tidak percaya jika saya orang dari Puskesmas, dengan bilang, 'Mas ini mempergunakan data kami untuk apa?'," kata Anggara.
"Ada pula yang menjawab jika mereka sehat-sehat saja, masih bisa bekerja, supaya mereka tidak perlu melakukan 'tracing'," tambahnya.
Menurut Anggara penolakan untuk dites atau pelacakan disebabkan karena banyak warga yang takut jika mereka kemudian dinyatakan positif tertular virus corona.
Anggara Widyartanto sudah menjadi relawan COVID-19 di kota Surabaya sejak awal pandemi
- Partai Buruh Menang Pemilu Australia, Anthony Albanese Tetap Jadi PM
- Korea Selatan dan Australia Ramaikan Semarang Night Carnival 2025
- Dunia Hari Ini: Israel Berlakukan Keadaan Darurat Akibat Kebakaran Hutan
- Dunia Hari Ini: Amerika Serikat Sepakat untuk Membangun Kembali Ukraina
- Realisasi Investasi Jakarta Triwulan I-2025 Capai Rp 69,8 Triliun, Tertinggi di Indonesia
- Ibas Tegaskan Indonesia dan Malaysia Tak Hanya Tetangga, Tetapi..