Ada Musuh di Selimut Separtai

Ada Musuh di Selimut Separtai
Ada Musuh di Selimut Separtai
Hendak menjadi pengurus di tingkat provinsi dan nasional, harus pernah dan lulus mengikuti intermediate training, advance training, hingga korps instruktur, master of training dan sebagainya. Isi kepala, sikap mental, keorganisasian, pemahaman ideologi, retorika, dan terjun dalam pengabdian masyarakat, jamak dikuasasi seorang pengurus organisasi mahasiswa, masa-masa itu.

Kawah candradimuka itulah yang melahirkan sosok seperti Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, Soerjadi, Ismail Hasan Matareum, Sabam Sirait, Eky Syahrudin dan lainnya untuk sekedar contoh saja.

Jika kita mundur ke masa Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan M. Natsir lebih dalam lagi. Mereka bereaksi terhadap zaman dan kemudian dilahirkan oleh zaman. Perkara basis pendidikan, kursus politik, nilai kejuangan dan ideologis tak diragukan lagi dan terbukti mereka lolos dari ujian zaman dan menjadi pemimpin bangsa.

Kader PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) yang didirikan setelah PNI bubar menyusul ditangkapnya Bung Karno pada 1930-an, diharuskan menjawab 150 pertanyaan yang disusun Bung Hatta, mulai dari yang sederhana hingga soal berat yang menyangkut teori-teori politik dan ekonomi. Mulai dari asas PNI, otokrasi, oligarki, revolusi hingga trust dan kartel. Termasuk juga teori hukum, gereja, hingga perbandingan ideologi dan sebagainya.

Syahdan, wabah musuh dalam selimut, walau bukan generalisasi, berkecamuk di “kapal” partai kontestan Pemilu 2009. Ketika sesama calon

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News