Adopsi Panti Jompo Jepang, Ada Ruang Spa dan Ofura

Adopsi Panti Jompo Jepang, Ada Ruang Spa dan Ofura
Adopsi Panti Jompo Jepang, Ada Ruang Spa dan Ofura

KEINGINAN kuat memberikan fasilitas yang lebih baik bagi orang-orang lanjut usia (lansia) telah menggerakkan dr I Gede Wiryana Patra Jaya MKes untuk mendirikan Sada Jiwa. Tempat peristirahatan di daerah Badung, Bali, itu mengadopsi panti jompo ala Jepang.
------------
 BRIANIKA IRAWATI, Surabaya
-----------
Bukan tempat petirahan pada umumnya, tapi bangunan itu mirip hotel, lengkap dan serbaguna. Kompleks tersebut memiliki 12 kamar tidur, poliklinik, ruang spa, ofura (kolam berendam berair panas), aula, serta restoran.

Tersedia pula fasilitas olahraga. Misalnya, jogging track, lapangan gate ball, ruang gym, area meditasi, dan ruang fisioterapi. Ada pula zona refreshing, tempat para lansia menjalankan hobinya. Misalnya, lahan untuk bertani atau berkebun dan beternak serta ruang karaoke.
 
Itulah Sada Jiwa, kompleks penampungan para lansia karya dr I Gede Wiryana Patra Jaya MKes, mantan direktur RSU Tabanan, Bali. Ide tersebut bermula dari pengamatan dokter yang akrab disapa Dekna itu saat bekesempatan mengunjungi Jepang pada awal 2005.
 
Di Negeri Sakura tersebut, para lansia mendapat perhatian khusus. Mereka tidak boleh ditelantarkan. Bahkan memperoleh fasilitas istimewa sehingga bisa menghabiskan masa tua dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
 
Antara lain, berolahraga, melakukan hobi, bermain bersama, konsultasi jiwa, pemeriksaan berkala dari dokter, serta pendampingan dari perawat atau care giver selama 24 jam penuh. Bahkan fasilitas gedung didesain khusus dengan mengutamakan keselamatan lansia.
 
Melihat contoh di Jepang itu, Dekna lantas berpikir untuk mendirikan fasilitas yang sama di tanah kelahirannya, Bali. Semata-mata untuk membantu para lansia mengisi hari-hari tuanya.
 
Tidak hanya tersimpan rapi di otak, ide-ide tersebut langsung direalisasikan Dekna dengan gerak cepat. Pada Mei 2012, dia menghubungi koleganya di Jepang, yaitu Prof Nozaki Manami, guru besar ilmu keperawatan di TOHO University, Tokyo.
 
"Saya banyak berkonsultasi tentang pelayanan untuk lansia dan meminta Prof Nozaki mengajari saya dan staf saya nanti," kata dokter 50 tahun itu saat bersama Jawa Pos menghadiri launching Pantai Hospital di Kuala Lumpur, Malaysia, 22 Februari lalu.

Bukan hanya kepada dokter asal Jepang saja, laki-laki kelahiran Denpasar, 7 Juni 1964, tersebut juga berkonsultasi kepada rekan-rekannya sesama dokter di Singapura, Jakarta, dan Jogjakarta.
 
Gayung bersambut. Dekna lalu bertemu dua perawat senior di Bali yang memiliki pengalaman kerja di klinik khusus lansia di Jepang selama tiga tahun. Dia lalu mengajaknya bergabung dalam proyek Sada Jiwa itu.
 
Sedikit demi sedikit konsep program Sada Jiwa mulai matang. Lalu, lahirlah empat pilar utama yang dipegang Dekna sampai saat ini. Yakni, aspek menjaga kesehatan fisik, aspek menjaga kesehatan mental, aspek menjaga kesehatan sosial, dan aspek spiritual.

Di antara empat konsep dasar itu, Dekna mengutamakan kesehatan sosial. Para lansia diajak berbaur dengan masyarakat setempat, mengikuti upacara adat dan agama, serta mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak di sekolah.
 
Empat konsep itu lalu dia terjemahkan dalam kompleks bangunan yang diinginkan. Termasuk apa saja yang mesti tersedia di petirahan bagi kaum lansia tersebut. Tentu saja Dekna menginginkan bangunan tersebut harus mengutamakan faktor keamanan sehingga para lansia bisa bergerak bebas dengan nyaman.
 
"Saya percaya, kalau bebas bergerak dan beraktivitas, kita akan awet muda," jelasnya, lantas tersenyum kecil.
 
Maka, pada Desember 2012 pembangunan kompleks Sada Jiwa pun dimulai. Dekna memanfaatkan lahan warisan orang tuanya, I Ketut Wijana dan Ni Ketut Persi, seluas sekitar 8.600 meter persegi. Lahan warisan itu juga dimanfaatkan untuk menuruti amanat sang orang tua agar lahan tersebut bisa digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
 
"Apalagi, kami sebagai orang Bali sangat kental dengan asas gotong royong dan persaudaraan," tutur Dekna.
 
Pembangunannya berlangsung lancar dan melibatkan masyarakat setempat. "Meskipun proyek ini dari biaya pribadi, saya ingin masyarakat sekitar juga merasa memilikinya," terang dokter yang enjoy dengan kepala plontos itu.
 
Setahun kemudian, kompleks Sada Jiwa selesai. Tepat 17 Januari 2014 bangunan itu diresmikan Bupati Badung Anak Agung Gde Agung. Nama Sada Jiwa bermakna panjang umur. Menurut Dekna, itu cocok dengan fasilitas yang disediakan sekaligus sebuah doa agar dapat bertahan lama.
 
Dalam menjalankan program-program Sada Jiwa, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu mengombinasikan antara program Jepang dan kebiasaan umum masyarakat lokal di Bali. Dia mengusung konsep 4P. Yakni, promotif, preventif, pengobatan, dan pemulihan.

"Kami menerima lansia mulai kondisi sehat sampai mereka yang membutuhkan pelayanan khusus," tuturnya.
 
Dari segi waktu, program Sada Jiwa dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, jangka pendek yang terdiri atas day care, 2 hari 1 malam, 4 hari 3 malam, dan 7 hari 6 malam. Kedua, program jangka panjang yang meliputi program 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan paling lama 5 tahun.

Selama berada di Sada Jiwa, para lansia akan dipantau dan didampingi selama 24 jam penuh oleh para perawat. Mereka juga mendapat kunjungan dokter secara berkala serta memperoleh rujukan ke rumah sakit daerah setempat.
 
Tidak setengah-setengah, dalam pemberian pelayanan terbaik untuk lansia itu, Dekna menggandeng beberapa organisasi dalam maupun luar negeri. Sebut saja Perhimpunan Dokter Geriatri Medik Indonesia Cabang Bali, Yayasan Cahaya Cinta Kasih, Persatuan Gate Ball Indonesia Cabang Bali, Bali Rasa Sayang, dan Bali Village. Selain itu, ada Cedar Walk dan Mitsubenozono yang merupakan fasilitas kesehatan di Tokyo, Jepang; serta Ingredine dan Alis Travel, agen travel Jepang di Bali.
 
Meski belum genap dua tahun, Sada Jiwa sudah mendapatkan respons yang memuaskan dari para lansia Bali maupun mancanegera. Saat ini tempat itu menampung 75 lansia lokal Bali, 2 dari Jakarta, 21 lansia Jepang, serta 2 orang dari Hongkong.

"Sebagian besar laki-laki," ujar ayah I Putu Agung Denny Cirya Negara, I Made Bagus Dwiki Praja Utama, Ni Komang Ayu Devika Astrina, dan I Ketut Nanda Krisna Mahardika Jaya itu.
 
"Saya bersyukur karena mendapat feedback yang baik dari mereka. Itulah yang menambah semangat saya untuk lebih mengembangkan Sada Jiwa," tambah penggemar sate kambing itu.
 
Dekna meraih "kesuksesan" tentu saja juga berkat dukungan keluarga, terutama sang istri, Christi Retno Palupi. "Tanpa dukungan keluarga, saya tidak dapat berkonsentrasi dalam mengembangkan Sada Jiwa ini," tuturnya.
 
Perjuangan yang dilakukan Dekna hingga mampu mewujudkan impiannya itu tidak sesederhana membalik tangan. Bahkan, hingga saat ini dia masih harus menghadapi pandangan miring dari masyarakat tentang fasilitas untuk para lansia tersebut. Sebagian masyarakat menganggap panti lansia itu sebagai tempat "pembuangan" bagi orang-orang tua yang "ditelantarkan" keluarganya.
 
"Saya harus bisa menghilangkan anggapan masyarakat seperti itu. Tempat ini bukan untuk lansia yang dibuang keluarganya," papar dokter umum itu.
 
Untuk menepis anggapan tersebut, Dekna secara serius berusaha meningkatkan pelayanan yang diberikan kepada para penghuni. Salah satu caranya, meng-upgrade para perawat dan dokter dengan pelatihan-pelatihan di Jepang.
 
"Saya juga mengajak para dokter di mana pun untuk bergabung di Sada Jiwa. Kami ingin Sada Jiwa seperti panti lansia di Jepang yang terawat dan bermanfaat," tandasnya. (*/c5/c10/ari)


KEINGINAN kuat memberikan fasilitas yang lebih baik bagi orang-orang lanjut usia (lansia) telah menggerakkan dr I Gede Wiryana Patra Jaya MKes untuk


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News