Agus Johanes Setyabudi Si Pencinta Batu Alam

Tukar Batu Alam dengan Bibit Tanaman

Agus Johanes Setyabudi Si Pencinta Batu Alam
Agus Johanes Setyabudi di antara batu-batuan miliknya. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

Dari sinilah Hans mempunyai inisiatif. Kualitas lebih baik daripada kuantitas. Saat ini, dengan beberapa kawan, Hans berkeliling Indonesia untuk mencari lokasi-lokasi batu alam tersebut. Apa tujuannya? Hans ingin batu alam di perut bumi pertiwi tidak hanya dikeruk tanpa ada timbal baliknya. Baik untuk alam maupun masyarakat sekitarnya.

’’Apa yang diambil dari dalam, harus ada yang ditanam. Masyarakat di sekitar juga mempunyai hak akan itu. Ekonomi rakyat harus terbangun dari fenomena alam ini,’’ jelas pemilik ratusan koleksi batu alam tersebut.

Semangat Hans untuk membuat gerakan itu berawal lima tahun lalu. Saat itu dia berada di Desa Cempaka, Martapura. Di situ, dia melihat mayoritas masyarakat hidup serba kekurangan. Padahal, sebagian besar mereka merupakan penambang batu intan.

’’Mereka bekerja keras seharian demi batu intan yang besarnya sebutir gula pasir. Intan yang mahal kayak gini kok nggak bikin rakyat di sini sejahtera,’’ kenang Hans.

Hans melihat batu-batuan alam yang indah terbuang percuma saat penggalian intan tersebut. Muncullah ide memanfaatkannya. Lewat jaringan yang dimilikinya, batu-batuan yang tidak terpakai itu dimanfaatkan menjadi suvenir atau gantungan kunci. Masyarakat sekitar heran karena Hans mau memanfaatkan batu sisa tersebut.

Pria asli Surabaya itu menjual suvenir batu tersebut seharga Rp 30.000 per item. Hanya butuh waktu singkat, suvenir-suvenir itu laku keras. Semua hasil keuntungan tersebut diberikan kepada masyarakat Desa Cempaka.

’’Sekarang mereka bisa membeli alat sendiri sampai menjualnya ke luar wilayah pula,” ujar penulis Jalan Sutra, buku yang bercerita tentang pengalamannya berkeliling Indonesia untuk mengeksplorasi batu-batuan alam tersebut.

Namun, Hans mengingatkan kepada para penambang agar tidak terlalu mementingkan kuantitas. Alam tetap harus dijaga. ”Dengan begitu, saat batu-batuan itu habis, mereka tetap bisa hidup dengan berkebun atau bertani,’’ ungkapnya.

Booming batu alam atau lebih sering disebut batu akik dimaknai berbeda oleh Agus Johanes Setyabudi. Kemunculan batu-batu itu, menurut dia, merupakan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News