Soal Caleg Eks Napi Korupsi

Anwar Budiman: Biarlah Nanti Rakyat yang Menghakimi

Anwar Budiman: Biarlah Nanti Rakyat yang Menghakimi
Praktisi Hukum Dr. Anwar Budiman. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghadirkan keadilan kepada publik dengan melarang caleg mantan napi korupsi ternyata terpatahkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Agung (MA). Untuk itu, biarlah nanti rakyat yang akan mengadili dan menjadi hakim yang adil dan bijaksana.

“Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, sehingga kita yakin rakyatlah yang akan menjadi hakim yang adil dan bijaksana. Biarlah rakyat yang menghakimi,” ungkap Praktisi Hukum dan pengamat politik, Dr Anwar Budiman di Jakarta, Jumat (21/9/2018).

Pada Kamis (13/9/2018) lalu, MA mengeluarkan putusan terkait judicial review (uji materi) Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Kedua PKPU ini melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual anak menjadi calon anggota DPR RI, DPRD dan DPD RI dalam Pemilu 2019.

MA dalam putusannya membatalkan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 7 huruf g PKPU No 20/2018, serta Pasal 60 huruf j PKPU No 26/2018. Dengan kata lain, MA memperbolehkan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam pemilu tahun depan. Kedua PKPU itu dinilai bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

MA juga menganggap materi PKPU No 20/2018 dan PKPU No 26/2018 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 71/PUU-XIV/2016 yang memperbolehkan mantan narapidana menjadi caleg, sepanjang yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya mantan terpidana.

Anwar mengaku, sejak awal dirinya sudah memprediksi MA akan meloloskan mantan narapidana korupsi menjadi caleg, karena MA selalu berpatokan pada aspek legal formal. 

“Bila berpatokan pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana status UU No 7/2017 lebih tinggi daripada PKPU No 20/2018 dan PKPU No 26/2018, maka Bawaslu-lah yang benar, dan ternyata hal itu diamini MA,” jelas advokat kelahiran Jakarta 1970 ini.

Menurut Anwar, ada dua hal mengapa sebuah produk hukum atau peraturan perundang-undangan disebut absah pemberlakuannya. Pertama, katanya, secara substansi, yakni materi perundangan yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya; dan kedua, formal atau proseduralnya, yakni sesuai dengan peraturan atau tidak.

Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, sehingga yakinlah rakyat yang akan menjadi hakim yang adil dan bijaksana. Biarlah rakyat yang menghakimi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News