Soal Caleg Eks Napi Korupsi

Anwar Budiman: Biarlah Nanti Rakyat yang Menghakimi

Anwar Budiman: Biarlah Nanti Rakyat yang Menghakimi
Praktisi Hukum Dr. Anwar Budiman. Foto: Dokpri for JPNN.com

“Keputusan MA itu sudah sesuai dengan UU No 12/2011. PKPU itu secara formal atau prosedural menabrak peraturan di atasnya,” tegasnya.

Peserta pemilu, lanjut Anwar, adalah seluruh warga negara Indonesia, sesuai amanat UU No 7/2017. “Bila KPU mau membuat batasan tentang peserta pemilu, yakni mantan narapidana korupsi tak boleh ikut pemilu, maka hal itu harus diatur dalam UU. Maka UU Pemilu perlu direvisi,” cetusnya.

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan puluhan eks-narapidana korupsi sebagai caleg Pemilu 2019. Padahal, nama-nama mereka sudah ditolak KPU. Bawaslu berpegang pada UU No 7/2017 yang tidak melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual anak menjadi caleg asal sudah mengumumkan statusnya itu ke publik, sebagaimana dimaksud Pasal 240 ayat (1) huruf g. Setelah “didamaikan” Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Selasa (4/9/2018), perselisihan antara KPU dan Bawaslu disepakati diselesaikan di MA.

MA, ucap Anwar, sesuai amanat Pasal 76 ayat (1) UU Pemilu bahwa dalam hal PKPU diduga bertentangan dengan UU maka pengujiannya dilakukan oleh MA, serta Pasal 9 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011, telah memutuskan “sengketa” antara KPU dan Bawaslu, dan hasilnya MA sependapat dengan Bawaslu.

Dalam memutus judicial review, kata Anwar, MA sebenarnya bisa membuat norma baru dengan pertimbangan keberadaan eks-koruptor di legislatif akan kontraproduktif untuk menciptakan parlemen yang bersih, serta kontraproduktif pula bagi pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia lalu merujuk contoh korupsi “berjamaah” di DPRD Sumatera Utara, bahkan di DPRD Kota Malang, Jawa Timur, dari 45 anggota, 41 di antaranya sudah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka suap. Fenomena yang sama juga terjadi di DPRD Jambi.

Bawaslu, kata Anwar, sesungguhnya juga bisa melakukan terobosan, yakni dengan melakukan koreksi atas keputusan Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota yang meloloskan eks-napi korupsi, bukan justru mengamini, sebagaimana dimaksud Pasal 95 huruf (h) UU No 7/2017. Anwar lalu mengutip Pasal 95 huruf h yang berbunyi, “Bawaslu berwenang melakukan koreksi terhadap putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota jika putusan dan rekomendasinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

Tapi, ibarat nasi sudah menjadi bubur. MA sudah terlanjur meloloskan mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Parpol-parpol pun ada yang menarik caleg mantan narapidana korupsi dan ada pula yang tetap mengajukannya. KPU akhirnya menetapkan 38 mantan narapidana korupsi untuk caleg DPRD dan 3 lainnya untuk calon anggota DPD RI dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2019, Kamis (20/9/2018).

Kini, menurut Anwar, keputusan ada di tangan rakyat, apakah akan memilih caleg mantan narapidana korupsi atau tidak.

Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, sehingga yakinlah rakyat yang akan menjadi hakim yang adil dan bijaksana. Biarlah rakyat yang menghakimi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News