APBNP Tersandera RUU Tax Amnesty

APBNP Tersandera RUU Tax Amnesty
Wapres Jusuf Kalla. Foto: dok jpnn

jpnn.com - JAKARTA - Ditundanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak di DPR memusingkan pemerintah. Sebab, kepastian soal tax amnesty menjadi salah satu landasan penyusunan APBN Perubahan 2016.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, postur APBN Perubahan 2016 memang akan disesuaikan dengan kondisi terkini, termasuk potensi turunnya penerimaan pajak. "Kalau turunnya banyak, pengeluaran harus dipangkas banyak juga," ujarnya di Kantor Wakil Presiden kemarin (26/2).

Sebagaimana diketahui, Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan bahwa RUU Tax Amnesty tidak akan dibahas di masa sidang kali ini. Tapi baru akan dibahas setelah reses atau masa sidang berikutnya pada April mendatang. Padahal, Maret nanti pemerintah harus sudah menyusun postur APBN Perubahan 2016. Isu yang berkembang menyebutkan bahwa penundaan itu merupakan akibat keputusan pemerintah yang menunda pembahasan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meski hal tersebut dibantah pimpinan DPR.

Menurut JK, tanpa kepastian pembahasan RUU Tax Amnesty, pemerintah harus menyusun postur APBN Perubahan 2016 dengan asumsi bahwa penerimaan pajak tidak memperhitungkan tambahan dari potensi tax amnesty  "Mudah-mudahan di masa sidang yang akan datang bisa (selesai) lah," katanya. 

Salah satu opsi untuk menyelamatkan APBN dari ancaman melebarnya defisit akibat merosotnya penerimaan pajak adalah memangkas belanja. Saat ini pemerintah sudah menyiapkan rencana pemangkasan belanja kementerian/lembaga pada 2016 antara Rp 200-290 triliun.

Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin menerangkan, hasil kajian Tim Ekonomi Kantor Wakil Presiden memperkirakan Indonesia bisa meraup tambahan penerimaan pajak dengan jumlah signifikan jika tax amnesty diberlakukan. Hal itu berasal dari pelaporan atas dana-dana yang selama ini berada di luar negeri atau tidak dilaporkan pemilik dana. "Potensi tambahan penerimaan pajaknya bisa sampai Rp 80 triliun," ucapnya.

Menurut mantan wakil rektor Universitas Paramadina tersebut, tahun ini adalah momentum pemberlakuan tax amnesty. Salah satu sebabnya, pada 2018 berlaku prinsip bank secrecy yang memungkinkan semua negara mengakses data perbankan, termasuk di luar negeri. "Bagi pemilik dana, daripada nanti ketahuan juga di 2018, lebih baik melaporkan sekarang dan membayar pajaknya," ujar dia.

Selain itu, kata Wijayanto, Indonesia yang kini tengah gencar-gencarnya membangun infrastruktur membutuhkan dana besar untuk membiayainya. Karena itu, di tengah menurunnya potensi penerimaan pajak akibat masih rendahnya harga komoditas, tambahan penerimaan dari tax amnestyakan sangat membantu. "Jadi, waktunya pas karena pemerintah sedang butuh tambahan penerimaan," tuturnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News