ASN Dalam Perebutan Kekuasaan Pilkada

Oleh: Benny Sabdo (Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara)

ASN Dalam Perebutan Kekuasaan Pilkada
Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara Benny Sabdo. Foto: Dokumentasi pribadi

Mari kita bedah tentang pengertian dari frasa “menguntungkan atau merugikan”. Pada dasarnya berkaitan erat dengan perbuatan hukum seseorang yang sedang memegang jabatan publik dalam melakukan tindakan yang melawan hukum.

Tindakan tersebut dapat membawa dampak yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu dalam sebuah proses kontestasi pilkada. Dalam konteks pilkada, tindakan hukum semacam ini dinilai melanggar prinsip netralitas pelayanan publik.

Dalam konteks hukum keterpenuhan unsur menguntungkan dan/atau merugikan ini seringkali menjadi bahan perdebatan. Apakah merupakan delik formil atau delik materiil.

Dalam artian, apakah pembuktian keterpenuhan unsur ini harus berdasarkan fakta adanya pihak yang mendapatkan keuntungan atau dirugikan (delik materiil). Ataukah pembuktiannya lebih didasarkan pada perbuatan hukumnya (delik formil).

Perdebatan serupa muncul dalam ketentuan tentang unsur merugikan keuangan negara dalam UU 31 Tahun 1999 juncto UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam konteks ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PUU-III/2006 menegaskan bahwa unsur merugikan negara merupakan delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan ada tidaknya kerugian negara, tetapi cukup membuktikan telah adanya perbuatan melawan hukum.     

Selanjutnya, perlu ditegaskan sifat frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 ayat (1), apakah sebagai delik formil ataukah delik materiil.

Hal ini perlu ditegaskan dalam bagian penjelasan pasal UU 10 Tahun 2016 dalam rangka pembuktian dugaan pelanggarannya. Jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PUU-III/2006 serta mempertimbangkan tingkat kesulitan dalam pembuktian serta limitasi waktu dalam hukum acara pemilihan, maka pemaknaan frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” semestinya dapat dimaknai sebagai delik formil dalam arti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Peraturan perundang-undangan mengatur secara jelas mengenai larangan ASN dan batasan netralitas yang memiliki konsekuensi pelanggaran netralitas. Akan tetapi, selain tindakan-tindakan yang dianggap melanggar pelanggaran netralitas dan berdampak adanya rekomendasi pelanggaran netralitas.

Diskursus mengenai dikotomi antara politik dan birokrasi telah menjadi kajian klasik di bidang ilmu politik dan pemerintahan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News