'Begpacker': Fenomena Bule Peminta Uang di Indonesia dan Kawasan Asia Lainnya

Joshua mengatakan pelancong dengan anggaran terbatas senang ke negara-negara di Asia Tenggara karena biaya hidup yang rendah, serta "keramahan warga ... dan secara budaya mereka tidak konfrontatif di Thailand atau di sebagian besar negara Asia Tenggara lainnya."
Menurut Helen Coffey, wakil editor topik travel untuk The Independent, kita harus berhati-hati untuk tidak menganggap 'begpacker' terlalu cepat.
"Ada asumsi yang tidak nyaman bahwa setiap orang kulit putih di Asia memiliki sarana yang independen dan tinggal menelepon keluarganya yang kaya saat mereka kehabisan uang," tulisnya di tahun 2017, saat 'begpacker' mulai banyak dikritik di jejaring sosial di Asia Tenggara,

"Foto diunggah tanpa konteks, tanpa referensi atau pengetahuan tentang keadaan pribadi orang-orang," tulis Coffey.
Max Geraldi seorang warga Indonesia sudah banyak melakukan perjalanan selama lebih dari 10 tahun di Eropa, Asia Selatan dan Timur Tengah sambil menampilkan pertunjukan di jalanan.
Kepada ABC ia mengatakan "semua hal yang butuh penampilan dan pertunjukkan untuk mendapat uang, bukanlah mengemis. Jika ada sesuatu untuk ditawarkan, seperti hiburan, bukanlah mengemis."
Tetapi turis asing di Asia Tenggara dikritik lebih keras karena aksi mengamen, seperti diberi julukan 'begpacker' itu, kata Max.
- Industri Alas Kaki Indonesia Punya Potensi Besar, Kenapa Rawan PHK?
- Apa Arti Kemenangan Partai Buruh di Pemilu Australia Bagi Diaspora Indonesia?
- Dunia Hari Ini: Presiden Prabowo Ucapkan Selamat Atas Terpilihnya Lagi Anthony Albanese
- Mungkinkah Paus Baru Datang dari Negara Non-Katolik?
- Partai Buruh Menang Pemilu Australia, Anthony Albanese Tetap Jadi PM
- Dunia Hari Ini: Israel Berlakukan Keadaan Darurat Akibat Kebakaran Hutan