'Begpacker': Fenomena Bule Peminta Uang di Indonesia dan Kawasan Asia Lainnya
Joshua mengatakan pelancong dengan anggaran terbatas senang ke negara-negara di Asia Tenggara karena biaya hidup yang rendah, serta "keramahan warga ... dan secara budaya mereka tidak konfrontatif di Thailand atau di sebagian besar negara Asia Tenggara lainnya."
Menurut Helen Coffey, wakil editor topik travel untuk The Independent, kita harus berhati-hati untuk tidak menganggap 'begpacker' terlalu cepat.
"Ada asumsi yang tidak nyaman bahwa setiap orang kulit putih di Asia memiliki sarana yang independen dan tinggal menelepon keluarganya yang kaya saat mereka kehabisan uang," tulisnya di tahun 2017, saat 'begpacker' mulai banyak dikritik di jejaring sosial di Asia Tenggara,
Photo: Begpacker yang pintar bisa menuliskan permohonan dengan menggunakan bahasa lokal. (Foto: Facebook, Begpackers in Asia)
"Foto diunggah tanpa konteks, tanpa referensi atau pengetahuan tentang keadaan pribadi orang-orang," tulis Coffey.
Max Geraldi seorang warga Indonesia sudah banyak melakukan perjalanan selama lebih dari 10 tahun di Eropa, Asia Selatan dan Timur Tengah sambil menampilkan pertunjukan di jalanan.
Kepada ABC ia mengatakan "semua hal yang butuh penampilan dan pertunjukkan untuk mendapat uang, bukanlah mengemis. Jika ada sesuatu untuk ditawarkan, seperti hiburan, bukanlah mengemis."
Tetapi turis asing di Asia Tenggara dikritik lebih keras karena aksi mengamen, seperti diberi julukan 'begpacker' itu, kata Max.
- Di Balik Gagasan Penerbit Indie yang Semakin Berkembang di Indonesia
- Dunia Hari Ini: 26 Tahun Hilang, Pria Aljazair Ini Ditemukan di Ruang Bawah Tanah Tetangga
- Dunia Hari Ini: PM Slovakia Ditembak Sebagai Upaya Pembunuhan Bermuatan Politik
- Ramai-Ramai Tolak RUU Penyiaran: Makin Dilarang, Makin Berkarya
- Dunia Hari Ini: Aktivis Thailand Meninggal Setelah Mogok Makan di Penjara
- Tanggapan Mahasiswa Asing Soal Rencana Australia Membatasi Jumlah Mereka