Belajar dari Banyuwangi

Belajar dari Banyuwangi
Dahlan Iskan.

Dia tahu birokrasi tak akan mungkin menanganinya. Maka dia tunjuk warung-warung terdekat.

Misalnya warung Bu Fatimah. Saat saya ke warung itu rantang sedang dipersiapkan. Ada warna merah dan hijau. Untuk pengiriman sore.

Untuk makan malam. Bu Fatimah punya dua ‘loper’. Yang mengantar rantang itu. Sekaligus mengambil rantang kosong.

Belajar dari Banyuwangi

Setiap bulan Bu Fatimah menerima pembayaran dari pemda. Serantang Rp 18.000. Juga bertanggung jawab atas mutu makanan.

Sore itu saya kunjungi Bu Tampani. Seorang janda. Umur 80 tahun. Punya tiga anak. Tapi semua meninggal sebelum umur dua tahun.

Suaminya, seorang nelayan, juga sudah meninggal. Lebih dari 40 tahun lalu.

Tapi fisik Bu Tampani cukup baik. Pendengarnya masih ok. Ingatannya masih segar. Bicaranya masih jelas. Tidak pikun. Tidak tremor.

Dulu Banyuwangi sulit maju karena jauh dari mana-mana. Masyarakatnya tidak pernah damai. Kisruh terus. Demo terus. Sekarang punya bandara.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News