Benarkah Masalah Papua Mendekati Magrib?

Perspektif Inter-Mestik dalam Kajian Resolusi Konflik

Benarkah Masalah Papua Mendekati Magrib?
Dr. Velix Wanggai, MPA

Bagi elite-elite Papua di Pemerintahan Papua (eksekutif dan legislatif) lebih memaknai persoalan dengan isu kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, keterisolasian, kematian). Gubernur Lukas Enembe mengurai apa penyebab itu karena ternyata karena titik mulainya (start) pembangunan yang terlambat sejak 1969 ketimbang provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

Lembaga think tank Pemerintah, LIPI, telah memetakan 4 persoalan, yakni (1) sejarah integrasi, status politik Papua, dan identitas politik; (2) kekerasan politik dan pelanggaran HAM; (3) kegagalan pembangunan; dan (4) inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua. Intinya, LIPI menawarkan ide Dialog (LIPI, 2009).

Sebaliknya, tokoh-tokoh Papua dan komunitas melihat Tanah Papua dengan perspektif yang berbeda atas akar persolan dan solusi yang berbeda untuk Papua.

Gembala Dr. Socrates Yoman, Ketua Umum Gereja-Gereja Baptis se-Tanah Papua, memiliki persepsi yang kritis dalam menyuarakan suara-suara rakyat Papua. Dalam bukunya, Otonomi Khusus Papua Telah Gagal (2012), Gembala Dr. Socrates Yoman menawarkan 3 solusi. Pertama, solusi dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Kedua, Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan kembali tuntutan rakyat Papua melalui Tim 100 26 Februari 1999, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres Nasional III Papua, 26 Mei-Juni 2000. Ketiga, pengalaman dan realitas ini menghasilkan ketidakpercayaan rakyat Papua kepada Pemerintah Indonesia dan telah kehilangan harapan masa depan dalam Indonesia.

Dalam konteks internasional, persoalan Papua dilihat dengan perspektif yang kritis. Sejumlah komunitas internasional melihat adanya "slow motion genocide" yang terjadi di Tanah Papua, pelanggaran HAM yang terus berlanjut, sejarah integrasi Papua 1969 yang cacat karena tidak mengusung "One Man One Vote" maupun kebebasan berekspresi yang dibatasi dan pelarangan jurnalis ke Tanah Papua. Pandangan seperti itu tampak dari IPWP, AWPA, ULMWP, Pacific Coalition for West Papua, Papua Studies di University of Sydney, dan berbagai networks yang tersebar di berbagai negara.

Isu dialog untuk Papua juga menjadi isu tersendiri di komunitas internasional. The State Secretary AS Hillary Clinton pernah mengatakan, "Dialogue would be help address Papuan concern, help resolve conflict peacefully and implementation governance and development...the need for inclusive consultation and implementation of the special autonomy law for Papua" (4 September 2012). Bahkan, negara tetangga terdekat, PNG mulai mengambil sikap dengan perspektif yang kritis. Walaupun PM Peter O'Neill tetap mendukung Papua sebagai bagian integral dari Indonesia, namun PM O'Neill mengungkapkan, "it is time to raise West Papua" (5 Februari 2015).

Adakah "the New Deal for Papua?"

Dengan konteks geopolitics internasional seperti itu, dan ditambah dengan situasi domestik Indonesia, termasuk situasi pembangunan di Tanah Papua, apa yang harus dilakukan oleh Negara?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News