Berontak dari Tradisi, Sekolah hingga Luar Negeri

Berontak dari Tradisi, Sekolah hingga Luar Negeri
Abdul Manan. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

Kemudian, dia mendapat kesempatan melanjutkan S-2 di jurusan teknik lingkungan di Chiang Mai University, Thailand. Sepulang dari Negeri Gajah Putih tersebut, Manan dipercaya rektor Unhalu saat itu, Prof Soleh Salahudin, menjadi kepala pusat studi lingkungan.

Pada 2003, Wakatobi menjadi kabupaten baru, hasil pemekaran dari Kabupaten Buton. Baru pada 2006 Wakatobi memiliki bupati sendiri setelah dipimpin pelaksana tugas (Plt) bupati. Hugua, teman kuliah Manan, terpilih menjadi bupati pertama Wakatobi.

Pada 2007, Hugua meminta Manan pulang kampung untuk menjadi staf ahli di bidang lingkungan. Sejak 2008 hingga sekarang, Manan dipercaya menjadi kepala badan perencanaan pembangunan daerah (bappeda).

Pada 2007, berdirilah perkumpulan suku Bajo internasional. Manan termasuk salah seorang penggagas perkumpulan itu. Anggota pertama berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Belakangan, suku Bajo di Thailand juga bergabung. Meski tersebar di berbagai negara, bahasa mereka sama, yakni bahasa Bajo.

’’Hanya, masing-masing dipengaruhi logat wilayah tempat mereka menetap,’’ kata Manan.

Masing-masing suku Bajo di sebuah negara memiliki pemimpin yang disebut presiden. Pada 2008, para ketua perkumpulan suku Bajo di Indonesia bertemu di Jakarta dan menunjuk Manan sebagai presiden pertama suku Bajo Indonesia.

Salah satu pertimbangannya, selain tingkat pendidikannya yang tinggi, populasi suku Bajo di Wakatobi merupakan yang terbanyak di Indonesia. Jumlahnya mencapai 12 ribu orang.

Selama enam tahun menjadi presiden Bajo, Manan berupaya keras mendorong warga Bajo untuk bersekolah. Dia sibuk mencarikan beasiswa bagi warga Bajo di berbagai perguruan tinggi.

SUKU Bajo kini tersebar di 21 provinsi di Indonesia. Jumlahnya puluhan ribu orang. Menariknya, pemimpin suku yang rumahnya di atas laut itu adalah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News