Berpindah-pindah Koalisi Memang Lazim, tetapi Tidak Sehat

Berpindah-pindah Koalisi Memang Lazim, tetapi Tidak Sehat
Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Karyono Wibowo menyebut konstitusi Indonesia tidak mengenal diksi oposisi dalam perpolitikan nasional. Sebab itu partai pendukung Prabowo Subianto bisa merapat ke kubu Joko Widodo (Jokowi) setelah kontestasi Pilpres 2019 berakhir.

"Dalam konstitusi negara tidak mengenal oposisi. Oleh karena itu terbuka peluang bagi lawan politik untuk bergabung. Jadi setelah pemilu selesai, bergabung ke yang menang," kata Karyono saat dihubungi, Rabu (3/7).

Lagi pula, kata dia, fenomena partai yang memindahkan dukungan setelah kontestasi Pilpres 2019, bukan barang baru. Pada 2009, Golkar mendukung pasangan capres dan cawapres Jusuf Kalla (JK) - Wiranto di Pilpres.

BACA JUGA: Jangan Sampai Koalisi Pendukung Jokowi – Ma’ruf jadi Gemuk dan Bergelambir

Di sisi lain, pasangan JK - Wiranto kalah di Pilpres 2019. Hal itu membuat Golkar mendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Budiono yang memenangkan kontestasi Pilpres 2009.

"Saya kira kalau merujuk pada sejarah, pernah terjadi. Lazim. Apalagi dalam konstitusi tidak mengenal oposisi," ungkap dia.

Namun, ucap dia, langkah memindahkan koalisi tidak baik untuk mewujudkan demokrasi sehat. Partai koalisi pendukung Prabowo, harus menjadi kekuatan penyeimbang untuk mengawal jalannya pemerintahan.

"Dalam konteks demokrasi sehat, tentu dibutuhkan kekuatan kontrol jalannya pemerintahan. Makanya perlu ada partai yang berada di luar pemerintahan. Kalau kami kaji dari aspek menumbuhkan demokrasi kritis, perlu ada partai yang mengontrol kebijakan pemerintah," pungkas dia. (mg10/jpnn)


Pengamat politik Karyono Wibowo menyebut konstitusi Indonesia tidak mengenal diksi oposisi dalam perpolitikan nasional.


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News