Biaya Rp 3 Juta, Tak Kalah dengan Yang Rp 300 Juta
”Alat ini kami gunakan untuk membantu masyarakat. Misalnya untuk memetakan hutan adat yang bermasalah dengan perusahaan perkebunan,” terang Radja.
Sejauh ini Swandiri memanfaatkan drone itu untuk proyek-proyek nonkomersial. ”Sudah pernah ada seorang pengusaha yang datang meminta bantuan drone, tapi kami tolak. Sebab, drone kami untuk keperluan nonkomersial,” ungkapnya.
Arif Munandar, teman Radja, menambahkan bahwa drone ala Swandiri Institute tersebut juga tidak bermaksud menghilangkan pemetaan partisipatif yang selama ini dilakukan masyarakat adat.
Sebab, menurut dia, hal itu sama dengan menghilangkan nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat.
”Kami hanya membantu mempermudah pemetaan partisipatif yang dilakukan warga. Jika tanpa drone pemetaan satu desa bisa satu tahun, kini hanya dengan beberapa jam,” paparnya.
Drone karya Swandiri mampu terbang hingga 2,5 jam dengan ketinggian 300 meter. Dalam satu jam, drone itu memiliki daya jelajah 100–400 hektare. ”Daya jelajahnya bergantung jenis drone-nya,” jelas Arif.
Meski berhasil membantu masyarakat pedesaan, perjalanan Radja dan timnya membuat drone bukannya tak menemui rintangan. Sebab, beberapa kali pesawat nirawak itu jatuh karena faktor human error.
”Saat di Biak, pesawat kami jatuh di hutan. Tapi, karena titik koordinat terakhirnya masih terekam, kami bisa menemukannya kembali,” kenang Arif.
DI Pontianak ada sebuah lembaga swadaya yang sukses memelopori pembuatan pesawat tanpa awak atau drone dengan kualitas impor. Lembaga itu, Swandiri
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor