Bu Guru Honorer Ini Selalu Bawa Sangkur, Begini Kisahnya

Bu Guru Honorer Ini Selalu Bawa Sangkur, Begini Kisahnya
Satriani, guru honorer, bersama warga menyusuri jalan setapak menuju Bakka, Kelurahan Bontoa, Kecamatan Minasatene, Pangkep. Foto: SAKINAH FITRIANTI/FAJAR/JPG

Di SDN 44 Bakka, dia mengajar 26 murid. Dari kelas I hingga kelas VI. Memang tak banyak murid di sekolah itu.

Di kelas I, hanya ada enam murid. Kelas II punya tiga murid. Di kelas III, ada dua murid. Kelas IV diisi empat murid. Kelas V memiliki delapan murid. Lalu, di kelas VI ada delapan murid.

Itu pun, hanya ada tiga ruang kelas. Kelas I digabung dengan kelas II, kelas III digabung dengan kelas IV, dan kelas V digabung dengan kelas VI. Tidak ada aliran listrik di kampung tersebut. Kondisi itu cukup menyulitkan murid ketika ada buku yang hendak difotokopi.

”Sama sekali tidak ada listrik. Jaringan seluler juga tidak ada,” katanya.

Jadilah kalau ada materi pelajaran yang akan difotokopi, dia harus mempersiapkannya lebih awal. ”Supaya dapat difotokopi di kota,” urai Satriani.

Untuk semua perjuangan itu, insentif yang dia terima sangatlah tak sepadan. Biaya transportasi saja –yang menempuh jarak begitu jauh– tidak bisa tertutupi dengan insentif yang dia terima per triwulan melalui pos bantuan operasional sekolah (BOS).

Namun, Satriani memakluminya. ”Pemberian insentif honorer berasal dari dana BOS. Sementara jumlah siswa yang sedikit juga menjadi tolok ukur dana BOS,” katanya.

Untuk menghemat dan menutupi pengeluaran, setiap menjalani rutinitas mengajar di sekolah tersebut, dia kerap membawa bekal. Antara lain, mi instan dan telur.

Sudah selama satu dekade, Satriani yang merupakan guru honorer, harus mendaki dan melintasi hutan untuk menuju sekolah tempatnya mengajar.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News