Budak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Budak
Perdana Menteri Kerajaan Belanda Mark Rutte di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (7/10/2019). Arsip/Foto: Ricardo

Bersamaan dengan itu Belanda membutuhkan tenaga kerja untuk membangun kota yang hancur karena peperangan.

Orang-orang Belanda kemudian mendatangkan para tawanan perang dari berbagai tempat seperti Manggarai, Bali, Bugis, Arakan, Makassar, Bima, Benggala, Malabar dan Kepulauan Koromandel di India.

Mereka dipekerjakan dalam berbagai proyek pembuatan benteng, loji, jalan, dan rumah-rumah para pejabat kompeni.

Seiring perkembangan Batavia yang begitu pesat, bisnis perbudakan makin marak.

Selain untuk memenuhi tenaga kerja, budak-budak perempuan pun kemudian didatangkan guna mengurus rumah tangga dan bahkan memenuhi nafsu biologis kaum laki-laki penghuni Batavia.

Mula-mula harga budak ditentukan oleh usia dan tenaga saja.

Akan tetapi pada abad ke-18, harga jual seorang perempuan muda meroket tinggi, jauh dua sampai tiga kali lipat harga seorang budak lelaki.

Itu terjadi karena pada saat itu permintaan akan budak perempuan--terutama dari kalangan pebisnis Tionghoa--sangat tinggi.

Belanda harus mengakuinya terus terang dan meminta maaf, serta membayar ganti rugi untuk bangsa Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News