Budaya Rujak Pare

Oleh: Dahlan Iskan

Budaya Rujak Pare
Dahlan Iskan. Foto: disway.id

jpnn.com - Makanlah rujak pare dan sambal jombrang. Tiap tanggal 13 Mei –seperti Kamis lalu. Begitulah cara baru mengenang kerusuhan Mei 1998.

Memang ada yang menempuh cara budaya untuk memperingati kerusuhan besar itu. Itulah kerusuhan yang menjadi tonggak munculnya era demokratisasi di Indonesia sekarang ini.

Yang menggagas gerakan ''rujak pare dan sambal jombrang'' ini adalah tokoh Tionghoa Semarang: Harjanto Halim. Nama Tionghoanya Liem Toen Hian.

Gerakan makan "rujak pare dan sambal jombrang" ini disertai pakai pita hitam di lengan. Cara itu melengkapi cara-cara lain yang ada selama ini.

Misalnya ada kelompok yang minta peristiwa harus dilupakan saja. Agar tidak mengusik ketenangan yang sudah tercipta.

Ada pula yang ingin memaafkannya, tetapi jangan melupakannya. Ada lagi yang ngotot agar peristiwa tersebut harus diusut siapa dalangnya. Keadilan dan kebenaran harus ditegakkan.

Harjanto memilih jalan budaya. Ia ingin setiap tanggal 13 Mei, masyarakat Tionghoa membuat rujak pare dan sambal jombrang. Yang sangat pedas.

Harjanto sampai menciptakan resep sendiri. Juga uraian bagaimana cara pembuatannya. Resep itu sudah ia masyarakatkan lewat medsos.

Kenapa Ita dibunuh? Fatia bilang karena Ita akan berangkat ke Jenewa untuk memberikan kesaksian sebagai wanita korban Kerusuhan Mei.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News