Bung Karno dan Pancasila

Oleh Dr. H Ahmad Basarah M.H*

Bung Karno dan Pancasila
Presiden Pertama RI Ir Soekarno. Foto: Geheugen van Nederland/ANP

Keberadaan bagian konsiderans itu sesungguhnya merupakan upaya pemimpin negara untuk mengakhiri polemik dan dikotomi sejarah kelahiran Pancasila yang rawan memecah belah persatuan bangsa. Pandangan dan sikap yang sama sebelumnya juga telah disepakati dan dirumuskan oleh seluruh Fraksi dan Kelompok DPD RI di MPR RI dalam dokumen resmi yang menjadi bahan baku Sosialisasi Empat Pilar MPR RI terbitan 2012.

Dengan demikian, secara historis terdapat tiga rumusan Pancasila, yaitu rumusan Bung Karno yang disampaikan pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK); rumusan oleh Panitia Sembilan yang diketuai oleh Bung Karno dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945; dan rumusan final pada Pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga diketuai oleh Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dari ketiga dokumen otentik rumusan Pancasila tersebut terlihat sangat jelas bahwa Bung Karno memiliki peran yang amat strategis dalam proses pembahasan dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara bersama para pemimpin bangsa Indonesia yang lainnya, baik dari tokoh-tokoh golongan Islam maupun golongan Kebangsaan.

Menurut Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, penerimaan atas Pidato 1 Juni 1945 secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPK pada waktu itu sangat mudah dimengerti. Hal itu bukan saja karena intisari dari substansi yang dirumuskan Bung Karno memiliki akar kuat dalam sejarah panjang Indonesia, tetapi nilai-nilai yang melekat di dalamnya melewati sekat-sekat subjektivitas dari sebuah peradaban dan waktu.

Dalam pidatonya di depan sidang PBB pada 30 September 1960, Bung Karno menyangkal pendapat Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris yang membagi dunia hanya ke dalam dua poros ideologi, yaitu liberalisme/kapitalisme dan komunisme. Bung Karno mengatakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu.

Bung Karno dengan lantang mengucapkan, “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.”

Dari penegasan Bung Karno di forum dunia tersebut, sangat jelas perbedaan Pancasila dengan ideologi liberalisme ataupun kapitalisme dan komunisme. Pancasila adalah suatu pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi, suatu hogere optrekking dari  Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.

Dengan demikian, Pancasila adalah ideologi yang lebih sesuai dan lebih cocok dengan falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila lebih sesuai dan cocok bagi bangsa Indonesia daripada komunisme yang menganut falsafah ateisme karena Pancasila punya sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menjelaskan sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar negara tanpa mengikutsertakan Bung Karno sama saja dengan memutus rantai sejarah bangsa Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News