Bung Karno Ingin Terlihat Tampan

Bung Karno Ingin Terlihat Tampan
Cindy Adams. Foto: Hendra Eka/Jawa Pos

Itu bermula dari aktivitas suami saya, Joey Adams. Dia adalah seorang komedian dan entertainer yang menjadi presiden seluruh aktor di Amerika. Pada 1961, dia dikirim Presiden Kennedy sebagai duta kebudayaan untuk wilayah Asia Tenggara. Dia dan timnya mengadakan pertunjukan di Istana Negara. Di situlah saya kali pertama bertemu Bapak (dalam wawancara, Cindy selalu menggunakan kata ”Bapak” untuk menyebut Soekarno, Red).

Saat itu saya ikut. Saya tahu, dia adalah salah satu di antara empat orang paling powerful di dunia ketika itu. Karena itu, saya bertekad mewawancarainya. Usai suami saya tampil, saya menghampiri Bapak. Saya bilang ke dia, apa saya boleh mewawancarainya saat itu. Dia mengiyakan.

Apa yang kali pertama Anda tanyakan?

Saya tanya hal-hal lucu dan ringan. Misalnya, kenapa dia memakai seragam kebesaran, peci (sambil memegang kepala). Bapak bilang, dia adalah komandan tertinggi di Indonesia dan rakyat butuh simbol otoritas sebagai panutan. Saya diam beberapa detik. Lalu, saya bilang, saya kira tidak begitu. Saya bilang, Anda memakainya karena terlihat tampan. Bapak tertawa. Dia bilang, ya, kamu benar, tapi jangan bilang siapa-siapa ya (Cindy lantas tertawa lebar).

Saya membuatnya tertawa, rileks. Dia juga terkesan dengan artikel yang saya tulis saat itu. Karena itu, ketika dia ingin biografinya ditulis, dia memilih saya. Saya awalnya tidak percaya saat Duta Besar Howard P. Jones (Dubes AS ketika itu) memberitahukan bahwa Presiden Soekarno ingin saya kembali ke Indonesia untuk menulis biografinya. Saat itu saya sudah kembali ke New York.

Apakah pemilihan Anda merupakan bentuk diplomasi Presiden Soekarno kepada pemerintah AS?

Saya kira tidak. Apalagi saat itu hubungan pemerintah Indonesia dengan Amerika sedang kurang bagus. Indonesia justru lebih dekat ke China (Tiongkok). Jadi, fakta bahwa dia memilih seorang gadis Amerika untuk menulis biografinya dan Dubes AS sebagai penghubung itu adalah hal yang hebat.

Dia memilih saya karena saya bisa membuatnya merasa santai, tertawa. Sebab, dengan itulah Anda bisa membuat dia bicara. Tidak sekadar bicara retorika politik, slogan-slogan politik, tapi tentang hidupnya, tentang ibunya, bagaimana dia dilahirkan, bagaimana dia sekolah, bagaimana dia kuliah di Bandung, bagaimana dia bertahan saat dipenjara. Saya yakin, dia hanya bisa bicara seperti itu kepada orang yang bisa memahami sisi kemanusiaannya. Dan saya hadir pada saat yang tepat.

DI antara sekian banyak biografi tentang proklamator RI, Presiden Soekarno, karya Cindy Adams-lah yang paling kuat dan hidup karena ditulis berdasar

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News