Bus Tiga Botol

Bus Tiga Botol
Suroboyo Bus saat melintas di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya. Foto: SURYANTO/RADAR SURABAYA

Tiga tahun kemudian sepeda motor itu sudah menjadi miliknya.

Bandingkan kalau dia naik kendaraan umum. Tiga tahun kemudian pun ia masih akan naik kendaraan umum. Belum punya aset kendaraan pribadi.

Biaya naik kendaraan umum per bulan itu –yang nilainya sama dengan cicilan sepeda motor– membuat orang pilih mencicil sepeda motor.

Itu belum menghitung fleksibilitas sepeda motor. Memiliki sepeda motor sama dengan memiliki fleksibilitas bergerak. Ia bisa point to point. Tidak perlu berjalan dari rumah ke halte bus. Lalu juga tidak perlu jalan kaki dari halte bus ke tempat tujuan akhir. Demikian pun sebaliknya.

Fleksibilitas lainnya: bisa untuk dua orang. Kadang bisa sekalian dengan satu anak. Pun dua anak.

Saat pulang kerja, sepeda motor itu masih bisa dipakai mobilisasi. Sedang kalau naik kendaraan umum, pulang kerja tidak bisa ke mana-mana. Zaman sekarang tidak punya kendaraan seperti mati kutu.

Pun di hari libur. Yang naik kendaraan umum tidak punya kendaraan untuk ke mana pun.

Singkatnya, sepeda motor adalah angkutan yang sangat fleksibel dan terjangkau. Ia tidak hanya membeli aset, tetapi juga membeli fleksibilitas.

Sepeda motor telah membuat kalangan bawah punya kemampuan mengejar kalangan atas –setidaknya dalam kecepatan mobilisasi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News