Bus Tiga Botol

Bus Tiga Botol
Suroboyo Bus saat melintas di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya. Foto: SURYANTO/RADAR SURABAYA

Tentu harus dicari: mengapa Surabaya Bus –begitu nama resminya– tidak sampai miring ke mana pun.

Ada yang menyalahkan, itu karena sistem pembayaran yang bukan uang itu. Penumpang harus cari tiga botol besar, atau lima botol kecil, atau sepuluh gelas plastik.

Yang jelas, tidak mungkin orang beli dulu air tiga botol, lalu diminum sampai habis, untuk kemudian naik bus.

Namun belum tentu penyebabnya itu. Bisa jadi lebih mendasar dari itu. Misalnya, jangan-jangan, sekarang ini, tidak begitu banyak lagi orang yang perlu angkutan umum.

Lihatlah jalan-jalan raya di Surabaya: penuh dengan sepeda motor. Mereka lebih memilih naik sepeda motor daripada angkutan umum. Alasannya pun sungguh masuk akal.

Para perencana kota –tidak hanya di Surabaya– sudah harus memasukkan faktor sepeda motor dalam konsep tata angkutan kota. Sekarang, apalagi yang akan datang.

Jelas sekali bahwa masyarakat kelas bawah pun sekarang sudah pintar-pintar. Sudah pandai berhitung. Saya bangga sekali dengan hitungan itu: menguntungkan mana naik kendaraan umum atau naik sepeda motor.

Kalau naik kendaraan umum satu bulan bisa habis Rp 300 ribu. Angka itu sudah bisa untuk membayar uang muka membeli sepeda motor cicilan. Tinggal tambah sedikit.

Sepeda motor telah membuat kalangan bawah punya kemampuan mengejar kalangan atas –setidaknya dalam kecepatan mobilisasi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News