Cerita dari Mereka yang Sakit Hati Setelah Perusahaan Kecerdasan Buatan Melakukan 'Update'
Ini juga jadi menyoroti masalah etika di perusahaan dan organisasi yang bertanggung jawab atas 'chatbot' yang bisa menjalin hubungan intim dengan pengguna.
"Bagaimana menangani data secara etis dan bagaimana menangani kesinambungan hubungan secara etis, keduanya jadi masalah besar," kata Profesor Brooks dari UNSW.
"Jika kita mengatakan ini akan bagus untuk menjadi teman, atau mungkin akan baik untuk kesehatan mental lewat mengobrol dengannya, kita tidak bisa dengan tiba-tiba menariknya dari pasar," tambahnya.
Tapi membiarkan 'chatbot' tetap bersedia juga tetap berisiko.
"Ini adalah kekuatan super baru," kata Profesor Brooks.
Seperti halnya media sosial menguras perhatian kita dengan konten-konten yang menarik, teknologi baru AI dapat mengeksploitasi kebutuhan dasar manusia, yakni menawarkan percakapan dan menjalin hubungan.
Tapi percakapan ini belum tentu bersifat terapi, seperti yang dijelaskan Profesor Brooks.
"Jika ingin menjaganya, maka Anda dapat menjaga mereka dengan membisikkan kata-kata manis dan mengobrol dengan mereka dengan cara yang baik."
Lucy jatuh cinta dan menjalin hubungan yang intim dengan 'chatbot' yang ia beri nama Jose
- Di Balik Gagasan Penerbit Indie yang Semakin Berkembang di Indonesia
- Dunia Hari Ini: 26 Tahun Hilang, Pria Aljazair Ini Ditemukan di Ruang Bawah Tanah Tetangga
- Indonesia Technology Investment Summit 2024 Bakal Kupas Peran AI
- Falcon SC Resmi jadi Lokal Partner Kore AI, Pasarkan Asisten Virtual AI di Indonesia
- Dunia Hari Ini: PM Slovakia Ditembak Sebagai Upaya Pembunuhan Bermuatan Politik
- Ramai-Ramai Tolak RUU Penyiaran: Makin Dilarang, Makin Berkarya