Chelsea

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Chelsea
The Shed Wall di stadion kandang Chelsea, Stamford Bridge, London. Foto: dokumen JPNN.com

Oleh karena itu, kedua pihak pasti sama-sama menahan diri. Ada kekuatan penahan, deterrence force, yang sama-sama membuat kedua kubu menahan diri.

Baca Juga:

Kedua kubu menyadari ada kekuatan 'mutual assured destruction' kepastian kehancuran kedua pihak, jika perang terbuka skala besar terjadi.

Korban sudah mulai berjatuhan. Bukan cuma di Rusia atau Ukraina, tetapi di seluruh dunia. Perang ini sudah menjadi perang global dan dampaknya sudah dirasakan oleh publik di seluruh dunia.

Di antara korban yang sudah mulai merasakan dampaknya adalah para penggemar sepak bola, terutama di Liga Premier Inggris yang mendukung klub Chelsea. Klub yang bermarkas di London ini menjadi klub sepak bola pertama yang menjadi korban perang.

Pemilik klub Chelsea, taipan Rusia Roman Abramovich, memutuskan melego klub ini karena takut kena sanksi yang bisa membuatnya kehilangan klub itu.

Sebagaimana cabang olahraga lainnya sepak bola seharusnya netral dan imun dari politik, tetapi terbukti tidak. Sepak bola erat kaitannya dengan politik lokal, regional, dan internasional.

Ketika terjadi krisis internasional seperti perang Rusia vs Ukraina ini sepak bola menjadi korban. Abramovich adalah sultan super crazy rich dari Rusia. Uangnya tidak berseri. Kekayaannya tidak habis tujuh turunan.

Namun, perang membuat dia terancam miskin dan dimiskinkan. Kalau otoritas Inggris membekukan aset-set Abramovich, Chelsea akan lepas dari kepemilikannya. Kalau langkah itu diikuti oleh sekutu-sekutu Inggris dan Amerika di Eropa maupun seluruh dunia, Abramovich bisa kehilangan semua kekayaannya yang dia simpan di Benua Biru.

Perang membawa akibat terhadap sepak bola. Itulah perang global yang terjadi di era globalisasi seperti sekarang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News