Dampak UU P2SK Terhadap Praktik Kepailitan & PKPU

Oleh M. Lazuardi Hasibuan*

Dampak UU P2SK Terhadap Praktik Kepailitan & PKPU
M. Lazuardi Hasibuan. Ilustrasi: Sultan Amanda/JPNN

jpnn.com - Indonesia kini memiliki omnibus law sektor keuangan. Namanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau UU P2SK.

UU baru itu disebut sebagai regulasi sapu jagat karena merevisi puluhan undang-undang terkait keuangan yang sudah lama berlaku. Memang UU P2SK tidak merevisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Namun, keberadaan UU P2SK telah berdampak signifikan kepada perubahan norma tentang praktik kepailitan dan PKPU. Hal itu merupakan imbas atas perubahan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diatur UU P2SK.

Perluasan Kewenangan OJK Sebagai Pemohon Kepailitan/PKPU Terhadap Debitor LJK.

OJK merupakan salah satu lembaga yang mendapat porsi kewenangan sangat luas sejak UU P2SK diberlakukan. Beleid tersebut menjadikan OJK sebagai institusi sentral dengan segudang kewenangan, mulai dari pengawasan, pengaturan, sampai penindakan terhadap lembaga jasa keuangan (LJK).

Ketentuan dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK juncto UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang PKPU menyebutkan pemohon pernyataan pailit pada bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dan dana pensiun hanya dapat diajukan oleh OJK.

Namun, sejak UU P2SK berlaku, kewenangan OJK mengajukan pailit tidak terbatas pada LJK.

Pasal 8B UU P2SK memperluas kewenangan OJK mengajukan permohonan pailit terhadap debitor LJK lainnya, di antaranya ialah penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, dan perusahaan asuransi.

UU baru itu disebut sebagai regulasi sapu jagat, merevisi puluhan UU terkait keuangan yang sudah lama berlaku.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News