Dari Belgia ke Mana
Oleh: Dahlan Iskan
Infrastruktur peternakannya memang sudah matang. Truk-truk angkutan ternaknya khusus: belum pernah saya lihat di Indonesia. Kandang penampung ternaknya lengkap: di dekat pelabuhan Darwin.
Kenapa model peternakan seperti itu tidak bisa kita usahakan di NTT? Misalnya di Sumba yang luas? Yang dulu dikenal sebagai pusat ternak sapi Indonesia?
Jangan pernah lagi berpikir begitu. Itu sudah masa lalu. Yang tiada akan kembali lagi. Kecuali lewat revolusi.
Kini tidak ada lagi peternak yang punya 1.000 sapi per orang di sana. Tidak pula 500 ekor. Pun 200. Bahkan 100.
Peternak di Sumba sudah ngeri untuk beternak. Kapok. Mereka merasa tidak berdaya: menghadapi pencuri. Yang pencuri ternak itu terorganisasi secara masif dan terstruktur. Sejak masa yang lama dulu.
Bukit-bukit yang dulu berselimut sapi kini tinggal sepi. Remaja yang dulu asyik berkuda kini berhonda.
Rupanya pencuri sapi di sana lebih perkasa dari negara –di era siapa pun. Sampai pencuri itu kelak mati sendiri –tidak ada lagi yang dicuri.
Atau ya sudah. Kita impor terus saja daging –dari Belgia atau dari India atau dari mana saja. Sampai ilmuwan IPB mampu membuat peternakan sapi di laboratorium. (*)
Menteri pertanian sejago apa pun tidak akan sukses kalau tidak bisa mencari jalan keluar dua persoalan dasar itu.
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Indonesia Re Gelar Kompetisi Futsal Antar-BUMN, Total Hadiah Puluhan Juta Rupiah
- Untung Siksa
- Anak Usaha SIG Raih BUMN Entrepreneurial Marketing Awards 2024
- Petrokimia Gresik dan Pupuk Indonesia Blusukan Lagi ke NTT
- Jakarta Marketing Week 2024: Direktur BRI-MI Terima Penghargaan DEWI BUMN 2024
- Perhutani Raih 2 Penghargaan di Ajang BUMN Entrepreneurial Marketing Award 2024