Dari Berburu Berita ke Berburu Sengon

Dari Berburu Berita ke Berburu Sengon
Dari Berburu Berita ke Berburu Sengon

Apalagi hampir tidak ada hama. Satu-satunya hama adalah karat puru. Itu pun mudah ketahuan. Kanker itu muncul di dahan dalam bentuk benjolan besar. Dahan itu bisa langsung dipotong. Bagian yang terkena penyakit itu harus dikubur. Jangan dibuang begitu saja. Jangan juga dibakar. “Hama” lainnya adalah kebakaran. Tapi ini juga gampang terlihat. Yang tidak mudah terlihat adalah hama yang satu ini: ditebang orang di tengah malam.

Selebihnya tidak ada masalah. Memang, ada yang mengkritik tanaman sengon membuat orang malas: tinggal tunggu hasil selama lima tahun sambil ongkang-ongkang kaki. Tidak perlu bekerja setiap hari seperti menanam padi. Atau menanam  buah tropik. Para penggiat buah tropik pasti benci ini. Anak muda yang gigih seperti Mas Pratomo dari Ungaran tidak akan tergiur sengon. Mas Pratomo sudah membuktikan buah tropik bisa menghasilkan dua kali lipat dari sengon. Juga tidak perlu menunggu lima tahun. “Memangnya perut kosong bisa disuruh menunggu lima tahun?” ujar Mas Pratomo.

Begitu banyak tanaman buah yang jadi pilihan: kelengkeng genjah, buah naga, durian pendek dan tentu saja sirsat. Hanya saja petaninya memang harus berpengetahuan, harus rajin (utun) dan harus berjiwa bisnis. “Kita kan harus membangun masyarakat. Agar rajin dan kerja keras,” ujar Mas Pratomo. “Biar bisa seperti bangsa Korea atau Jepang,” tambahnya.

Ke depan, sengon kelihatannya akan berfungsi sebagai tabungan pedesaan. Bukan sebagai mata pencaharian. Sawahlah mata pencaharian itu. Sedang ladangnya ditanami sengon. Tabungan itu diperlukan karena kelak anaknya minta sepeda motor. Atau meneruskan kuliah ke perguruan tinggi. Atau bagi daerah seperti Wonogiri yang bupatinya sangat getol menggalakkan penanaman singkong, mata pencahariannya adalah singkong itu. Toh juga sukses. Sengon untuk tabungan.

Saya perhatikan Bupati Kepahyang di Bengkulu juga kampnye ini: rakyat yang mau kaya, tanamlah sengon. Demikian juga bupati Aceh Timur. Hanya Kalimantan dan Jambi-Riau yang kelihatannya tidak cocok untuk sengon.

Saya juga punya seorang teman. Mantan wartawan terkemuka Republika di Jakarta. Namanya Guntoro. Prestasinya sebagai wartawan sangat menonjol: gigih dan rajin mengejar berita. Kini dia gigih mengejar sengon. Dia tinggalkan dunia kewartawanan. Yang full stress itu. Dia tinggalkan Jakarta. Yang full ruwet itu. Dia beli tanah yang masih murah di desa di Jabar. Dia tinggal di desa itu. Pekarangan rumah yang dia tinggali sangat luas: tiga hektar. Dari segi luasan pekarangan, orang terkaya di Jakarta pun dia kalahkan. Tidak ada orang kaya di Jakarta yang pekarangan rumahnya 3 hektar.  “Tidak pernah lagi terkena macet,” guraunya. tanahnya.

Selama 8 tahun meninggalkan dunia hiruk-pikuk kewartawanan di Jakarta Guntoro sudah berubah total. Kini dia sudah memiliki tanaman sengon 800 hektar. “Tiap tahun beli tanah sedikit-sedikit mas,” katanya. “Saya ingon jadi raja sengon,” tambahnya.

Hitung sendiri berapa kekayaannya: 800 x Rp 500 juta = Rp 400 miliar! Percayailah separonya. Atau sepertiganya. Tetap saja menitikkan air liur. “Jangankan jadi wartawan. Jadi pemilik koran pun belum akan bisa dapat angka itu,” katanya bergurau.

SAYA melihat gejala baru. Kelilinglah pedesaan Jawa: begitu banyak pohon sengon sekarang ini. Tanpa ada program penghijauan dari pemerintah pun,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News