Dari Petisi 50 ke Petisi 100

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Dari Petisi 50 ke Petisi 100
Presiden Kedua RI Soeharto sedang menelepon di kantornya di Bina Graha, Jakarta Pusat. Foto: Antara Foto

jpnn.com - Salah satu gerakan oposisi paling fenomenal di Indonesia ialah Petisi 50 pada masa Orde Baru Soeharto.

Pada dekade 1980-an, ada puluhan tokoh nasional yang menandatangani petisi dan meminta pertanggungjawaban Suharto di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di antara para penanda tangan petisi itu ada nama-nama besar, seperti Jenderal (Purn) A.H Nasution, Mohammad Natsir, mantan Gubernur DKI Ali Sadikin, dan eks Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso.

Petisi 50 lahir karena keprihatinan para tokohnya terhadap arah pemerintahan Soeharto yang makin melenceng. Petisi itu dikeluarkan pada 5 Mei 1980.

Ketika itu Soeharto sudah berkuasa tiga periode atau sekitar 15 tahun. Soeharto sudah melakukan konsolidasi kekuasaan dan menempatkan sekutu-sekutu politiknya dari kalangan militer pada posisi-posisi kunci.

Selama 15 tahun berkuasa, Soeharto sudah berhasil menekan oposisi sampai di posisi marjinal. Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dihabisi melalui pembunuhan massal sepanjang 1966-1967 dengan mamakai kekuatan TNi dan umat Islam.

Tokoh-tokoh PKI ditangkap, dipenjarakan, atau dibunuh tanpa pengadilan. Perburuan terhadap sisa-sisa PKI dilakukan secara masif dan sistematis.

PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Pemerintahan Orde Baru juga terus-menerus mengingatkan rakyat akan bahaya laten PKI.

Musuh politik potensial berikutnya bagi Soeharto ialah Islam politik. Partai-partai politik berideologi Islam, terutama Masyumi, yang ingin bangkit kembali, tidak diizinkan oleh Soeharto.

Petisi 50 berakhir dengan hampa dan para petisiwannya menjadi paria politik. Masih akan dilihat apakah Petisi 100 akan bernasib sama atau lebi baik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News