Dedi Mulyadi: Berbeda dengan Publik, Golkar Tunggu Kematian

Dedi Mulyadi: Berbeda dengan Publik, Golkar Tunggu Kematian
Dari kiri: Ahmad Doli Kurnia, Dedi Mulyadi, Ray Rangkuti, Ketua DPD Golkar Jateng Wisnu Suhardono, dan Ketua DPP Golkar Ridwan Hisjam dalam diskusi di kantor DPP Kosgoro 1957. Foto: Tri Mujoko Bayuaji/Jawa Pos/JPNN

Misalnya di wilayahnya dari 18 menjadi 12 persen karena kasus Pilgub DKI Jakarta 2017.

Bahkan, di DKI Jakarta sendiri elektabilitas Golkar di bawah tiga persen.

”Dulu, Golkar hampir dibubarkan. Kami survive. Kalah sekali (Pemilu 1999) lalu menang (2004). Partai Golkar tumbuh karena menerapkan demokratisasi maksimal,” ujar Dedi.

Persoalan saat ini muncul karena ada ironi terkait komitmen Partai Golkar dalam mendukung Presiden Joko Widodo.

Komitmen itu, menurut Dedi, adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat.

Namun, seharusnya Partai Golkar bisa melakukan kreasi demi menumbuhkan elektabilitas.

”Ketika Golkar mendukung Pak Jokowi harusnya adaptif. Turun ke daerah, kebijakan pemerintah dikreasi, keluar gagasan dalam karakter Partai Golkar,” tegasnya.

Dia mengatakan, persoalan Novanto jauh lebih kecil dibandingkan masalah Golkar pada 1998.

Rapat pleno yang dihelat pada Selasa (21/11) malam sebenarnya menjadi momentum bagi Partai Golkar untuk mendepak ketua umumnya, Setya Novanto.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News