Demo Ala Cak Nun di Kandang Banteng

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Demo Ala Cak Nun di Kandang Banteng
Budayawan Emha Ainun Nadjib dan Ketua DPP PDIP Maharani menghadiri acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Masjid At-Taufiq, Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (10/4). Foto: Ricardo/JPNN.com

Mbah Nun mengungkap tradisi kebesaran sejarah Nusantara yang merentang jauh sampai 18 generasi. Dalam tradisi silsilah Jawa ada 18 urutan desenden (keturunan) dan asenden (orang tua, leluhur) yang oleh Mbah Nun dianggap sebagai bukti budaya Nusantara yang sudah terlebih dahulu mapan.

Mbah Nun sesumbar terhadap Amerika dan Rusia, dan negara-negara adidaya lain yang sejarahnya baru seumur jagung bila dibanding dengan budaya Nusantara. Dalam tradisi silsilah Jawa dikenal urutan bapak/simbok, kakek/nenek (simbah), mbah buyut, mbah canggah, mbah wareng, mbah udheg-udheg, mbah gantung siwur, terus ke atas sampai 18 tingkat.

Tentu saja itu khas Jawa dan budaya timur pada umumnya yang mengenal konsep extended family, keluarga besar. Dalam tradisi kekeluargaan Jawa bahkan dikenal istilah ‘mambu sedulur’ (berbau saudara) maupun sedulur adoh (saudara jauh) untuk menggambarkan ekstensi yang tidak terbatas.

Namun  justru dalam tradisi budaya Jawa sekarang, nama keluarga tidak bisa dilestarikan sehingga identitasnya dalam bentuk marga hilang. Hal ini beda dengan masyarakat Batak yang paternalistik, atau masyarakat Minang yang maternalistik.

Dari identitas nama marga saja, orang bisa mengindentifikasi garis silsilahnya. Ini juga terjadi masyarakat Tionghoa yang mempunyai berbagai rumpun marga besar dan perkumpulan diaspora internasional besar marga-marga tertentu.

Identitas keluarga Jawa yang feodalistik membagi masyarakat ke dalam kasta-kasta sesuai dengan strata sosialnya. Ketika Indonesia merdeka, tradisi itu pelan-pelan memudar dan akhirnya benar-benar hilang.

Orang Jawa tidak bisa dikelompokkan ke dalam marga keluarga seperti warga Batak atau Minang. Namun, budaya extended family di Jawa yang berdasarkan pada kolektivitas masih menjadi ciri yang kental.

Hal itu berbeda dengan budaya Barat yang terbatas pada nucleus family atau keluarga inti kecil yang berdasarkan pada konsep individualisme.

Cak Nun punya cara khas dalam menyampaikan kritik. Dia memadukan gaya Gus Dur dengan Asmuni dan ada bau Cak Nur, yang semuanya dari Jombang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News