Di Selo Harapan Baru Itu Terbuka

Di Selo Harapan Baru Itu Terbuka
Di Selo Harapan Baru Itu Terbuka

Maka, persoalan berikutnya adalah ini: maukah petani di Desa Selo itu menanam kedelai dengan teknik yang sudah mereka kuasai tersebut tanpa bantuan Bank Mandiri lagi? "Mauuuuuuu," jawab para petani itu serentak.

Tentu saya masih khawatir dengan jawaban tersebut. Jangan-jangan hanya karena ada saya. Atau karena ada Pak Bupati Bambang Pudjiono. Maka, satu per satu saya tanya mengapa mereka mau meneruskan sendiri teknik baru itu tanpa bantuan.

"Hasilnya sudah kelihatan jelas berbeda," ucap seorang petani yang masih muda. "Kami mau maju, Pak Menteri," ujar yang lain.

"Niki mboten mawi bantuan malih lho. Tetep sanggup?" tanya saya. "Sangguuuuup," kata petani serentak.

Saya tegaskan bahwa Bank Mandiri saya minta tetap memberikan dana, tapi untuk desa lain. Agar penggunaan teknik baru itu segera meluas. "Mangertooooos," jawab mereka.

Memang, seperti dijelaskan Adi, untuk menerapkan teknik baru itu, biayanya bertambah Rp 500.000 per hektare. Tapi, hasilnya bertambah Rp 3 juta.

Inilah yang juga saya khawatirkan. Kadang, dengan alasan lagi tidak punya uang, petani mengorbankan hasil yang maksimal. Karena tidak ada uang, petani pasrah: menerima saja hasil seadanya.

Itulah sebabnya, program "yarnen" BUMN ("bayar setelah panen") harus terus diperluas. Untuk mengatasi sikap pasrah para petani.
 
Tentu tidak hanya untuk kedelai. Saat ini kami juga lagi bicara dengan dua ilmuwan terkemuka kita yang hasil penemuannya belum dimanfaatkan secara memadai. Itulah topik Manufacturing Hope minggu depan. (*)

TIBA-tiba saya bisa tahlilan di Grobogan. Di kuburan seorang tokoh. Tidak saya sangka kalau makam tokoh itu di dekat kebun kedelai yang saya tinjau

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News