Dian Ciputra

Oleh: Dahlan Iskan

Dian Ciputra
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Baru ketika harus masuk SMA, Ciputra ke Manado. Masuk SMA Don Bosco. Sampai akhirnya tabrakan sepeda itu.

Zaman itu hubungan Dian-Ciputra jadi gosip hebat di sana. Kok mau-maunya: Dian yang begitu cantik berpacaran dengan anak janda miskin, tidak ganteng pula. Padahal, yang gagah nan kaya mengantrenyi.

Umur Dian-Ciputra hanya selisih kurang dari enam bulan. Mereka tidak bisa dipisah lagi.

Ketika Ciputra berangkat kuliah ke ITB, Bandung, Dian juga meninggalkan Manado: ke Surabaya. Sekolah farmasi. Lalu, menyusul Ciputra ke Bandung. Kawin di Bandung. Ayah-ibu Dian tidak bisa hadir: tidak ada biaya ke Jawa. Demikian juga ibunda Ciputra.

Ketika Ciputra kuliah, Dian-lah yang bekerja. Yakni, di sebuah perusahaan Belanda di Bandung. Dian fasih berbahasa Belanda.

Saat kecil, Dian memang sekolah SD Belanda (HIS). Lalu, masuk SMP Belanda (MULO). Diteruskan ke SMA Susteran —pengganti SMA Belanda yang tidak diperbolehkan lagi.

Semua itu menjadi modal utamanyi untuk bekerja —di samping wajah kebelanda-belandaannyi. Apalagi, dia memang mampu mengerjakan pembukuan keuangan di situ.

Ciputra sendiri bekerja paruh waktu —di sela-sela kuliahnya. Yang penting pengantin baru itu bisa hidup dan Ciputra bisa mencapai cita-citanya menjadi arsitek.

Suatu hari, Dian naik sepeda memboncengkan temannya, sesama siswi SMA Susteran. Dari arah berlawanan, Ciputra diboncengkan sepeda oleh temannya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News