Dian Ciputra

Oleh: Dahlan Iskan

Dian Ciputra
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Sebenarnya saya selalu ingin bertanya kepada Dian —apanya yang menarik dari Ciputra-muda. Tapi, setiap kali saya ke rumah Pak Ciputra, selalu saja Dian hanya sebentar ikut menyapa, lalu menghilang ke belakang.

Saya selalu mencuri pandang wajahnyi. Pun biar hanya sesapuan, saya harus bilang: Dian cantiiiiiiik sekali. Pun sampai ketika Dian sudah punya cucu.

Saya tidak pernah bisa ngobrol panjang dengan Dian. Dia memang tipe wanita yang tidak mau ikut urusan suami.

Bahwa Dian kemudian dikenal sebagai istri konglomerat, itu kan belakangan. Bahwa dia duduk juga di komisaris banyak perusahaan, itu juga ketika sang suami sudah tiada.

Dian tidak mengincar itu. Dia siap menderita ketika memilih Ciputra —instead of anak orang yang terkaya dulu itu.

Padahal, seperti diakui anak-anaknya, Ciputra itu orangnya keras. Kalau punya kemauan, ngototnya bukan main. Harus tercapai. Harus cepat. Kalau ada yang bikin lambat, ia marah-marah.

”Kalau lihat papa marah, biasanya mama bilang: biarkan saja, nanti kan reda sendiri,” ujar Junita Ciputra, satu di antara empat bersaudara anak Ciputra: Cakra Ciputra, Rina Ciputra, Candra Ciputra, dan Junita Ciputra.

Junita melihat mamanyi orang yang sangat sabar. Tidak punya banyak kemauan. Easy going. Hanya satu yang diinginkan Dian. Pun ketika sudah tua: harus tetap tampil cantik.

Suatu hari, Dian naik sepeda memboncengkan temannya, sesama siswi SMA Susteran. Dari arah berlawanan, Ciputra diboncengkan sepeda oleh temannya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News