Dinamika Suku Tengger, Antara Toleransi dan Pindah Keyakinan

Kades Islam atau Kristen, Yang Penting Merakyat

Dinamika Suku Tengger, Antara Toleransi dan Pindah Keyakinan
Warga Tengger usai menggelar sunatan massal.
’’Kami memilih kepala desa bukan karena latar belakang agama. Melainkan figurnya yang merakyat,’’ ungkap Astono, warga Desa Senduro yang menjadi pemuka Hindu dan koordinator pengelola harian Pura Mandhara Giri Semeru Agung.

Pura Mandhara Giri Semeru yang terletak di Desa Kandang Tepus, Senduro, itu berdiri cukup megah di atas lahan seluas sekitar empat hektare. Menurut Astono, pura tersebut terbesar kedua setelah Pura Besakih di Karangasem, Bali. Yang menarik, pura itu berdiri di tengah permukiman warga yang mayoritas muslim, meski sama-sama dari suku Tengger.

Setiap ada upacara agung di pura tersebut, umat Hindu dari luar daerah (kebanyakan dari Bali) banyak menginap di rumah-rumah warga muslim. Sebab, penginapan yang ada di Senduro tak memadai. Hotel Somanake, satu-satunya penginapan di Senduro, hanya berkapasitas 65 kamar.

Semangat toleransi juga terjaga di suku Tengger yang tinggal di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Di desa itu, terdapat belasan pasangan yang menikah, meski berbeda keyakinan. Misalnya, pria muslim dari luar suku Tengger menikah dengan wanita Hindu dari suku Tengger. Mereka menetap di Ngadisari.

”Sistem kekerabatan yang ada pada suku Tengger yang bisa menjaga perbedaan itu,” kata Supoyo, kepala desa Ngadisari. Menurut dia, suku Tengger punya prinsip mengayomi siapa saja. Dengan demikian, sebagai orang Tengger, mereka dituntut melestarikan adat istiadat dan budaya tanpa melihat latar belakang agama. (kum)

Indahnya toleransi beragama bisa dilihat pada suku Tengger, salah satu komunitas tradisional yang terkenal dengan upacara Kasada. Dulu suku itu identik


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News