Dinamika Suku Tengger, Antara Toleransi dan Pindah Keyakinan

Kades Islam atau Kristen, Yang Penting Merakyat

Dinamika Suku Tengger, Antara Toleransi dan Pindah Keyakinan
Warga Tengger usai menggelar sunatan massal.
Setelah pembaiatan pada Mei itu, beberapa bulan kemudian, ada pembaiatan lagi yang diikuti puluhan warga suku Tengger lainnya. Salah satunya Ngatiyo, warga Dusun Pusung Duwur, Argosari. ”Saya jadi mualaf dan dibaiat setelah Lebaran Haji lalu (sekitar Desember 2007),” kata pria 36 tahun itu.

Sejak menjadi mualaf, beberapa warga dari suku Tengger itu mengaku harus banyak menyesuaikan. Misalnya, yang dirasakan Sutiyo. ”Kami kalau beribadah tak pernah dengan posisi kaki ditekuk, melainkan bersila. Ketika salat, kaki harus ditekuk saat duduk tahiyat akhir. Saya masih sering kesemutan,” kata Sutiyo. ”Terkadang kalau kesemutannya parah, duduk tahiyat saya pakai bersila,” lanjut pria 35 tahun yang tinggal di Desa Argosari itu.

Dia menceritakan, ujian awal terberat sebagai mualaf dijalani selama enam bulan pertama. Karena hawa dingin di pegunungan Tengger yang menusuk tulang, dia kerap meninggalkan salat Subuh. Begitu juga salat Duhur. Sebab, kebiasaan berladang warga suku Tengger dilakukan hingga sore. Dengan demikian, di awal-awal itu, jarang sekali mualaf Tengger yang salat Jumat.

Menurut Manajer Program dan Pendayagunaan Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Jawa Timur, Ihya Ulumuddin, jumlah mualaf Tengger di Kecamatan Senduro semakin banyak sejak dua tahun terakhir. Bahkan, dia mengklaim, jumlahnya kini mencapai 1.600 orang lebih. ’’Jumlah sekian itu berdasar pendataan terakhir kami menjelang penyaluran zakat fitrah 2,5 ton beras,’’ terang Ihya.

BMH, kata Ihya, terus melakukan pendampingan kepada para mualaf tersebut. Mereka menggandeng aparat kecamatan setempat. Agustus lalu, mereka mengadakan khitanan masal, khusus mualaf Tengger. Yang menarik dalam acara yang diikuti 40 orang itu, usia peserta tertua 70 tahun. Yang termuda 12 tahun. ’’Kebetulan, ajaran Hindu dan Islam memang ada kemiripan. Hindu juga mengajarkan khitan dengan memotong sebagian kecil saja. Setelah masuk Islam, mereka setidaknya dikhitan sesuai syariah Islam,’’ lanjut Ihya.

Dia menjelaskan, selama hampir dua tahun terakhir, pihaknya melakukan berbagai program Bina Desa Berkelanjutan. Di antaranya, pipanisasi dari sumber air ke tandon desa. ’’Warga Argosari kalau mengambil air harus berjalan kaki sampai 4 km. Semoga pipanisasi sepanjang 5 km dapat mengubah perilaku mereka yang jarang mandi,’’ ujarnya.

Meski di antara suku Tengger kini ada yang beragama selain Hindu, toleransi tetap terjaga di komunitas tradisional itu. ”Mereka yang Hindu tetap menghargai yang telah berpindah keyakinan ke Islam. Begitu pula sebaliknya,” kata Markatun, kepala desa Argosari yang menjadi mualaf sejak lima tahun lalu. Sebelumnya, dia Hindu.

Jika kepala desa Argosari beragama Islam, kepala desa Ranupani di Kecamatan Senduro beragama Kristen. Dia adalah Thomas Hadi, juga dari suku Tengger. Kedua orang tuanya masih beragama Hindu. Karena itu, di Desa Ranupani, selain terdapat pura (tempat ibadah umat Hindu), sanggar (tempat khusus di sekitar rumah untuk sembahyang umat Hindu), musala dan masjid, juga terdapat gereja. Lokasi tempat ibadah itu pun saling berdekatan. Pemandangan yang sama bisa disaksikan di Desa Senduro dan Argosari. Hanya, di Desa Argosari, tidak ada gereja.

Indahnya toleransi beragama bisa dilihat pada suku Tengger, salah satu komunitas tradisional yang terkenal dengan upacara Kasada. Dulu suku itu identik

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News