Dinilai Pro Asing, MK Harus Batalkan UU Migas
Jumat, 18 Mei 2012 – 17:50 WIB
"Sebut saja transfer pricing (TP) baik dalam bentuk ekspore maupun impor. Kemudian instrumen yang dipakai berupa badan yang dibentuk seperti Petral. Timbulnya kolusi membuat negara dirugikan ratusan triliun dari ekspore minyak 900.000 barel per hari," ujar Iwan. Selain itu, lanjutnya, penggelembungan cost recovery di lifting Migas yang terindikasi merugikan negara setara Rp70 triliun dalam setahun.
Jadi dalam kerangka berfikir "Minyak Untuk Rakyat", tambah Iwan, kebijakan negara belum berorientasi pada kepentingan rakyat. Jaringan distribusi bermasalah yang mengakibatkan langkanya minyak di daerah hingga harga yang tinggi.
"Seperti di Papua, Kalimantan, harga bensin mencapai Rp15 ribu per liter. Logika menghemat energi termasuk listrik sebagai bentuk ketidakberhasilan negara mensuplai minyak yang cukup dengan harga rendah untuk rakyat," tegas Iwan Piliang.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI, Halim Kalla menilai, pelaksanaan Undang-undang `Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas (Migas), sebagai pengganti UU Nomor 8 Tahun 1971, masih menyisakan masalah krusial.
JAKARTA - Iwan Piliang selaku Citizen Journalist sekaligus pelaku usaha Migas menyatakan, langkah Judicial Review UU Migas NomoR 22 tahun 2001 harus
BERITA TERKAIT
- Stimuno Kembali Raih Penghargaan Top Brand For Kids Awards
- Pupuk Kaltim Beri Reward 15 Distributor Ritel Terbaik, Jalan-jalan ke Luar Negeri
- Birkenstock Meluncurkan Sandal Terbaru, Desainnya Masa Kini, Cek Harganya
- Pertamina Berikan Kado untuk Kebangkitan UMKM di Indonesia
- Berkat 'Kak Wulan' Petani Mawar Nganjuk Punya Harapan Baru
- Kementan Tambah Alokasi Pupuk Bersubsidi untuk NTB, Petani Kini Bisa Tebus Pakai KTP