Divonis Lima Bulan, Sopir Lamborgini Maut belum Puas

Divonis Lima Bulan, Sopir Lamborgini Maut belum Puas
Wiyang Lautner dan sang ibu, Tenny Lautner. Foto: Jawa Pos

SURABAYA – Majelis Hakim yang diketuai Burhanuddin akhirnya mengetuk palu vonis untuk sopir Lamborghini maut, Wiyang Lautner. Hakim menjatuhkan hukuman lima bulan plus denda Rp 12 juta subsider satu bulan kurungan. Vonis itu sesuai dengan tuntutan jaksa.

Namun, ternyata putusan yang mengakhiri sidang di tingkat pertama tersebut masih dianggap terlalu berat oleh pihak Wiyang. Sebab, pengemudi Lamborghini yang menewaskan satu orang itu beserta tim pengacaranya berkata akan pikir-pikir dengan putusan tersebut. Begitu pula jaksa yang menggunakan hak pikir-pikir yang ditawarkan majelis hakim.

Dengan begitu, Wiyang dan jaksa memiliki waktu satu minggu untuk memutuskan apakah akan menerima vonis hakim atau mengajukan banding. Jika memutuskan untuk menerima, pria kelahiran 18 Februari 1991 itu tinggal mendatangi PN Surabaya untuk menandatangani berita acara yang menyatakan persetujuan atas vonis hakim.

Tetapi, jika keberatan dan menolak vonis itu, Wiyang dan tim pengacara harus membuat memori banding dengan memasukkan unsur-unsur yang dianggap bisa meringankan hukuman. Hal itu bisa jadi memperlama masa tahanannya di rutan.

Jika menerima putusan tersebut, sebenarnya Wiyang bisa segera bebas. Dia ditahan sejak 5 Desember 2015. Karena divonis lima bulan, dia akan bebas pada 5 Mei 2016 atau sekitar 36 hari lagi.

Majelis hakim mengungkapkan, putusan itu berdasar beberapa pertimbangan. Di antaranya, uraian jaksa, keterangan sepuluh orang saksi, dan pembelaan (pleidoi) yang diajukan Wiyang dalam persidangan sebelumnya. "Pleidoi kami juga dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim. Tapi, kami memang memutuskan pikir-pikir dulu," ungkap Ronald Napitupulu, salah seorang kuasa hukum Wiyang, setelah sidang.

Hakim sepakat dengan dakwaan jaksa dan menganggap pria 25 tahun itu terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 310 ayat (1), (3), dan (4) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Yakni, tentang kelalaian berkendara yang mengakibatkan korban luka dan meninggal dunia.

"Terdakwa amat kurang berhati-hati dan tidak paham mengenai kecepatan berkendara di dalam kota," jelas Burhanuddin. Unsur kelalaian dan ketidakhati-hatian itu kemudian mengakibatkan Kuswarijono meninggal dunia di tempat.

Sementara itu, istrinya, Sri Kanti Rahayu, hingga kini masih harus menjalani rawat jalan karena menderita patah tulang di bagian paha kiri. Pemilik kedai STMJ, Mudjianto, juga mengalami memar dan luka-luka.

Faktor mengemudikan kendaraan dengan tidak memperhatikan kondisi jalan di sekitar menjadi hal yang memberatkan dalam tuntutan. Sementara itu, hal yang dianggap meringankan, antara lain, Wiyang memperlihatkan penyesalan yang serius. Juga sudah ada tanggung jawab, santunan, asuransi pendidikan, serta bukti perdamaian antara keluarga dan para korban.

Wiyang kemarin melangkah ke kursi pesakitan dengan mantap. Sebelumnya, sang ibu, Tenny Lautner, memberikan dukungan berupa kecupan di pipi kiri. Ditanya mengenai rencana yang akan dilakukan setelah hakim menetapkan hukuman, Tenny mengaku tidak terpikirkan hal itu. "Tidak ada pikiran sama sekali. Yang pasti, Wiyang akan meneruskan hal-hal yang tertunda," ujar dia.

"Tidak ada pikiran untuk syukuran atau apa pun karena ini musibah," tutur Wiyang. Sebelum tersandung kasus, dia mengurusi usaha keluarga. Yakni, toko alat-alat pertanian seperti genset dan pompa air. "Sebelum kecelakaan, sudah bantu jadi sales, cari-cari orderan ke mana-kemana," imbuh Tenny. (hay/c6/any/flo/jpnn)

 



Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News