Dukacita bagi Guru, Sahabat dan Cendekiawan Soekarnois: Bung Cornelis Lay

Oleh Hasto Kristiyanto*

Dukacita bagi Guru, Sahabat dan Cendekiawan Soekarnois: Bung Cornelis Lay
Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A saat menyampaikan pidato dalam pengukuhannya menjadi guru besar FISIPOL UGM, 6 Februari 2019. Foto: dokumentasi pribadi Hasto Kristiyanto

jpnn.com - Pagi ini saya menerima kabar dari Mas Pratikno, Menteri Sekretaris Negara. Isi kabarnya tentang dipanggilnya Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A ke hadirat Ilahi.

Sebuah berita yang begitu mengejutkan saya. Seluruh perasaan campur aduk: kesedihan, dukacita, sekaligus terbentanglah seluruh rekam jejak sejarah perjalanan bersama Sosok Cendekiawan Soekarnois yang begitu saya kagumi.

Mas Cony -begitulah saya memanggilnya- merupakan sosok akademisi yang mampu membuat sintesis tepat antara pemikiran Bung Karno dan jalan politik Megawati Soekarnoputri. Sintesis pemikiran yang lahir dari kesadaran untuk menjadikan politik sebagai keyakinan ideologis; politik sebagai dedikasi bagi kepentingan umum; politik sebagai kesabaran revolusioner untuk memperjuangkan sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas dari berbagai belenggu penjajahan.

Melalui sosok seperti Cornelis Lay, Ibu Megawati Soekarnoputri dapat berdialog berjam-jam, melakukan recalling keseluruhan ide, gagasan, cita-cita dan perjuangan Bung Karno yang dibumikan dalam alam kekinian. Keduanya secara intens membaca apa yang tidak tertulis, merasakan apa yang tidak tampak, dan mencari makna atas setiap peristiwa politik dengan “terang” dari pemikiran Bung Karno.

Ibu Megawati Soekarnoputri dan Mas Cony menjadi sahabat justru karena “sikap bebas” almarhum yang semasa hidupnya terus hadir sebagai sosok pemikir-intelektual. Ia tidak melibatkan diri dalam jabatan kekuasaan politik praktis. Ia lebih memilih berdedikasi mengurai dan memformulasikan sintesis setiap gagasan Bung Karno dalam praktik politik Megawati Soekarnoputri.

Tak heran, Ibu Megawati sering kali menempuh jalan diam kala kala berhadapan menghadapi setiap langkah hingga jebakan politik yang sering diciptakan pemerintahan otoritarian Orde Baru. Diam sebagai strategi, sekaligus membangun ruang kontemplasi dan menempa kesabaran diri.

Dalam jalan diam itulah Mas Cony hadir dan menjadi teman, sahabat, sekaligus sparring-partner diskusi bagi Ibu Megawati. Dalam diam itulah sosok Cornelis Lay bersama Megawati menggali pemikiran banyak tokoh, merasakan pemikiran itu dalam kesatuan akal budi dan hati.

Selama periode 1998 hingga 2014, saya sering mendampingi atau tepatnya mengantar Mas Cony ke Kebagusan, Teuku Umar dan di berbagai tempat. Di situlah saya menjadi saksi atas dialog politik yang selalu terjadi dalam keheningan, sebab yang dibahas adalah masa depan negeri.

Dalam keseluruhan perjalanan politik, saya sungguh bersyukur telah berkesempatan mendapatkan “mutiara gagasan” yang ikut membentuk seluruh kesadaran ideologi, kesadaran politik, dan kesadaran berorganisasi, serta kesadaran berkebudayaan, yang di belakang hari begitu berguna dalam seluruh perjalanan politik saya di PDI Perjuangan.

Selamat jalan, Mas Cony. Engkau telah pergi, namun pemikiranmu akan makin bersemi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News