Dulunya Makmur, Kini Meraung Terbayang Kekelaman

Dulunya Makmur, Kini Meraung Terbayang Kekelaman
Tampak Bidan Endang Sumarmi (berkacamata/kanan) dan Bidan Rinda (kiri/pakai layer kuning) saat menuntut untuk diangkat sebagai pegawai negeri sipil, Rabu (4/5). FOTO: Mesya Mohamad/JPNN.com

Endang menuturkan, menjadi bidan desa di era Presiden Soeharto sangatlah enak. Meski mengabdi di wilayah perdesaan dengan berbagai klasifikasi (biasa, menengah, terpencil), para bidan rata-rata hidupnya makmur. Setiap masa kontrak berakhir, SK bidan desa otoma‎tis keluar tanpa bayaran sepeser pun. Bahkan, ketika SK keluar, para bidan mendapatkan uang saku sebagai modal awal pelayanan kepada masyarakat.

Bidan desa pun diberi keleluasaan melayani pasien secara mandiri. Meski di era Orde Baru, pemerintah gencar dengan program Dua Anak Cukup, namun bidan desa bisa menikmati pendapatan Rp 15 juta sampai Rp 20 juta sebulan.

“Ya gimana gak banyak pendapatan bidan. Kami diberi keleluasaan menarik dana minimal Rp 750 ribu sekali tindakan untuk pasien melahirkan. Kalau kondisi pasien susah, saya hanya minta Rp 250 ribu sebagai pengganti obat-obatan saja,” ungkap Bidan Endang mengenang masa-masa enaknya.

Endang punya pengalaman pasien tidak mampu bayar, akhirnya menggantikannya dengan bahan natura. Bagi Endang, itu salah satu bentuk pengabdian bidan desa, apalagi tidak semua pasien yang tidak bisa bayar.

Kan dulu penduduknya sejahtera, semua serba murah. Jadi punya tabungan untuk lahiran," selorohnya dengan logat Jawa medoknya.

‎Ibarat pengantin baru, masa-masa enaknya tidak bertahan lama. Pada 1998 ketika krisis moneter melanda yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, nasib para bidan desa pun berubah 180 derajat.

Program Presiden Soeharto tidak dilanjutkan. Bahkan ditenggelamkan. Para bidan desa pun meraung karena masa depannya yang kelam sudah terbayang. Setiap perpanjangan kontrak, mereka harus membayar Rp 350 ribu kepada petugas Dinas Kesehatan dengan alasan untuk biaya administrasi.

‎‎Bidan Endang yang tengah hamil meminta dimutasikan ke wilayah pengabdian suaminya. Namun permintaan itu ditolak, Endang pun memilih berhenti. Namun jiwa Endang yang dekat dengan pelayanan, menghantarkannya kembali menjadi bidan desa. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News