Ebiet G Ade, tentang Puisi – puisi yang Dinyanyikan

Ebiet G Ade, tentang Puisi – puisi yang Dinyanyikan
Ebiet G Ade hadir dalam anugerah kebudayaan 2018 di Kemendikbud, Jakarta, Rabu (27/9/18). FOTO: FEDRIK TARIGAN/JAWA POS

Kriteria penerima penghargaan itu adalah mereka yang telah mengabdi di bidang kebudayaan sejak minimal berusia 30 tahun. Ebiet telah jauh melampaui parameter tersebut.

Rekaman pertamanya dilakukan di Jackson Record pada 1979. Saat usia pria yang terlahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, dengan nama Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far itu baru berusia 25 tahun.

Sejak itu dia konsisten berkarya. Sudah 22 album studio yang telah dia lahirkan. Album kompilasi malah lebih banyak lagi: lebih dari 30.

”Negara memberi penghargaan itu. Saya harus merasa bahagia atas penghargaan ini,” ungkap pelantun Camelia yang melegenda tersebut.

Hampir semua lagu yang dia nyanyikan karya sendiri. Kecuali, mengutip Wikipedia, Surat dari Desa yang ditulis Oding Arnaldi dan Mengarungi Keberkahan Tuhan yang ditulis bersama dengan Susilo Bambang Yudhoyono.

Konsistensi dia juga terlihat dalam penulisan lirik. Lagu-lagu Ebiet, bisa dibilang, adalah puisi-puisi yang dinyanyikan. Musikalisasi puisi kalau dalam bahasa sekarang.

Suami Yayuk Sugianto itu memang berlatar belakang penyair. Besar dalam asuhan penyair legendaris Umbu Landu Paranggi di kawasan Malioboro, Jogjakarta. Bersama, antara lain, Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, dan E.H. Kartanegara.

Lirik-liriknya banyak bercerita tentang alam, keluarga, dan romansa. Lebih khusus lagi tentang alam: kontemplasi atas bencana yang terjadi.

Konsistensi Ebiet G Ade melagukan puisi berbuah Satyalencana Kebudayaan dari Presiden Jokowi yang diserahkan Mendikbud Muhadjir Effendy.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News