Ferdy Hasiman Berharap Indonesia Jadi Penentu Harga Timah Dunia

Ferdy Hasiman Berharap Indonesia Jadi Penentu Harga Timah Dunia
Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Research Database dan Penulis Buku 'Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara'. Foto: Dokpri for JPNN.com

Kebijakan ini telah memberi angin segar bagi timah di Tanah Air untuk menjadi acuan harga di pasar timah dunia. Selain itu, dengan adanya satu bursa, timah kita menjadi besar dan bisa memberikan kontribusi keuangan yang besar bagi penerimaan negara. Keuntungan lainnya adalah stabilitas harga timah di pasar terjaga. 

Selain dapat mengurangi jual-beli lisensi bahkan meminimalisasi perdagangan timah ilegal, termasuk mewujudkan rencana Presiden Jokowi perihal Pusat Logistik Berikat (PLB).

Terbukti Indonesia akhirnya mampu mengendalikan harga timah dunia dan memperluas pasar eskpor timah terbukti harga timah dunia stabil di atas US$ 20.000/MT dari tahun 2016-2018 dan peran Singapura sebagai secondary market dari semula 90 persen di tahun 2014 turun menjadi 20 persen di tahun 2018. Selain itu penerimaan negara dari Devisa Hasil Eskpor (DHE), Pajak dan Royalti terus meningkat.

Namun, ambisi besar acuan harga timah dunia dan kedaulatan timah Indonesia sejak lahirnya PERMENDAG RI No. 32/2013 itu tak lagi memberikan angin segar bagi Industri timah Indonesia, karena di rezim Menteri Perdagangan pemerintahan Jokowi-JK, Enggartiasto Lukita dari Partai Nasional Demokrat, tidak lagi menempatkan BKDI/ICDX sebagai satu-satunya bursa penentu harga timah.

Permendag No. 53/2018 melalui Bappebti juga menjadikan JFX sebagai salah satu bursa timah selain ICDX. Indonesia hanya perlu satu Bursa Timah, dan BKDI/ICDX adalah satu-satunya Bursa Komoditi dan Penentu Harga Timah di Indonesia (Aktualita, Majalah Bappebti, edisi September, 2013).

“Ini sebenarnya aturan kontroversi, anomali kebijakan. Kehadiran 2 (dua) bursa akan merusak (disrupsi) acuan harga dan menyebabkan terpuruknya timah, selain itu pembeli akan bingung dalam menggunakan harga acuan hingga lebih memilih transaksi perdagangan timah Indonesia melalui secondary market,” katanya.

Menurutnya, peningkatan perdagangan melalui secondary market akan mengakibatkan meningkatnya country risk perdagangan timah murni batangan di Indonesia, hingga akhirnya mendegradasi kedaulatan Indonesia dalam menentukan harga timah, dan menurunkan kepercayaan global terhadap Indonesia. 

Problem dualisme bursa Timah Indonesia menyebabkan harga Timah menunjukan tren penurunan sejak 2019. Di tahun 2020, harga timah terus menurun sampai di bawah US$ 15,000/MT sehingga berpotensi menyebabkan kehilangan pendapatan devisa sebesar US$ 400 Juta. 

Ferdy Hasiman mengatakan Presiden Jokowi perlu turun tangan mengatasi dualisme di bursa komoditas timah jika ingin Indonesia menjadi acuan harga timah dunia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News