Ferdy Sambo, The Villain, & Hukuman Mati

Ferdy Sambo, The Villain, & Hukuman Mati
Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo yang menjadi terdakwa perkara pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) seusai menjalani persidangan beragendakan pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jakarta, Senin (13/2). Foto: Ricardo/JPNN.com

Majelis hakim pun menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo sebagai terdakwa dua perkara itu. Ferdy Sambo tampak bergetar. 

Baca Juga:

Hukuman mati terhadap Sambo  dianggap oleh banyak kalangan sebagai balasan yang setimpal atas kejahatan yang dirancangnya. Justice has been done, keadilan sudah ditunaikan.

Sambo menghilangkan satu nyawa dan karena itu dia harus membayar dengan nyawa. Mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, dan nyawa dibalas nyawa. Itulah hukum yang dianggap setimpal.

Hukuman mati merupakan salah satu pidana tertua di dunia. Namun, memasuki abad ke-20, banyak negara yang memutuskan untuk menghapuskan pidana hukuman mati.

Para aktivis hak asasi manusia (HAM) internasional menganggap hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan. Hak untuk hidup adalah hak asasi semua orang yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun, termasuk oleh negara.

Tentu pertanyaannya, bagaimana kalau seseorang sengaja dan berencana melakukan pelanggaran HAM dengan mencabut nyawa orang lain melalui pembunuhan? Tidakkah dia harus bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu dengan membayar nyawa?

Indonesia menjadi salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati. Namun, pelaksanaan hukuman mati telah menuai pro dan kontra sejak lama.

Hukuman mati merupakan salah satu pidana pokok yang bersifat khusus dan alternatif. Hukuman mati dilakukan dengan cara menembak mati di depan regu eksekusi.

Hukuman mati tidak menguak keseluruhan kasus Ferdy Sambo. Kiprah Satgassus Merah Putih yang misterius dan tuduhan soal jaringan judi kakap tetap tak terungkap.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News