Fisika Nusantara

Oleh: Dahlan Iskan

Fisika Nusantara
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Apa yang saya ceritakan itu merupakan ”milestone” dalam Ilmu Kedokteran, bahwa dalam keadaan kedaruratan, seorang ahli bedah tanpa pengetahuan di bidang pembedahan jantung (pada waktu itu) melakukan tindakan bedah yang dianggap ”aib” oleh komunitasnya, tetapi kemudian menjadi jalan ”membuka mata” bagi para ahli bedah lain, bahwa tindakan menjahit jantung yang dikatakan ”tabu” dapat dilakukan oleh setiap ahli bedah dengan mudah.

Setelah kejadian itu, dengan ”echo” ke negara lain, khususnya ke Amerika, pembedahan jantung berkembang pesat. ”Cerita” yang sama terjadi tahun 1967 pada waktu ahli bedah jantung di Afrika Selatan, di Rumah Sakit ”Groote Schuur”, Christian Barnard (1922-2001) melakukan ”terobosan” melaksanakan untuk pertama kalinya transplantasi jantung manusia ke manusia (cangkok Jantung) dari donor manusia.

Padahal sebelumnya sudah dilakukan percobaan hewan untuk teknik transplantasi tersebut, tetapi Christian Barnard yang ”nekat” (tapi dengan kajian ilmiah yang bernalar) melakukannya untuk pertama kalinya. Jadi dalam “kedaruratan” juga dibutuhkan ”kewarasan ilmiah” seperti yang ditulis oleh Sulfikar Amir tersebut di atas.

Di dalam pengembangan riset kedokteran, dikenal ”Evidence Based Medicine” (EBM) yang merupakan ”alat atau pemahaman yang menjadi dasar dari kegiatan tata laksana praktik kedokteran pada setiap penerapan tata laksana kedokteran terhadap pasien dan komunitas”, harus berlandaskan pada bukti ilmiah yang sahih dan mutakhir” di mana setiap dokter sejak menjadi mahasiswa sudah diajarkan sebagai pola berpikirnya bila melaksanakan kegiatan penelitian/riset.

Secara ”peringkat evidence” ada peringkat (level of evidence) 1a,1b, 2a, 2b, 3a, 3b, 4 dan 5, (atau evidence level A (2 level), B (4 level, 2a, 2b, 3a, 3b) , C, dan D) di mana ”level 5” (paling rendah) adalah ”opini expert berdasar pada review yang tidak sistematis dari suatu hasil atau studi mekanistik”.

Jadi misalnya pendapat seseorang atau ”opini” berdasar suatu kejadian. Sedangkan yang level evidence-nya tertinggi, (atau tersahih) adalah level A (1a dan 1b) yaitu berdasarkan review sistematik acak homogen dari uji coba (controlled trials) atau juga uji coba individual acak terkontrol. Dalam melakukan penelitian khususnya bidang kedokteran, termasuk mencari metode pengobatan atau mencari obat baru (termasuk vaksin) juga harus tunduk pada ”aturan main” meneliti, yaitu harus didasarkan pada sejumlah kaidah ilmiah yang rinci, yang harus ditepati oleh setiap peneliti (atau grup peneliti) secara runtut dan teratur.

Di Indonesia, otoritas keabsahan penelitian kedokteran dan hasil luarannya ada di BPOM (di Amerika Serikat oleh badan yang disebut FDA). Ini yang tadi disebutkan sebagai ”kewarasan ilmiah”. Kemajuan teknologi memungkinkan pada waktu ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan data besar (Big Data) mendemokratisasikan pengetahuan medis dengan cara yang sebelumnya tidak pernah diduga.

Platform pengetahuan medis seperti pathway medical memimpin dengan menggabungkan teknologi ini dengan antarmuka pengguna yang efisien untuk meningkatkan perawatan dan memfasilitasi hasil bagi pasien yang lebih baik. Kombinasi ini membantu profesional tenaga kesehatan mendiagnosis dan merawat pasien dengan lebih efisien dibandingkan dengan metode penelitian tradisional.

Layang-layang itu bisa terbang justru karena menentang angin, bukan mengikuti angin.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News