Fokus Tindak Pidana Terorisme, Bukan Ribut Soal Definisi

Fokus Tindak Pidana Terorisme, Bukan Ribut Soal Definisi
Peneliti dan penulis buku Ancaman ISIS, Partogi Nainggolan (tengah) saat diskusi "RUU Teroris Dikebut, Mampu Redam Aksi Teror?" di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5). Foto: Dok. Ist.

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti dan penulis buku Ancaman ISIS, Partogi Nainggolan mengatakan perdebatan soal definisi terorisme dalam revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) tidak perlu berlarut-larut.

“Apa pentingnya? Yang mau dijaring di sini kan sesuai dengan judulnya undang-undang tindak pidana terorisme," kata Partogi dalam diskusi "RUU Teroris Dikebut, Mampu Redam Aksi Teror?" di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5).

Dia menambahkan, persoalan definisi itu lebih baik ditinggalkan saja untuk studi keilmuan. Menurut Partogi, kalau ada definisi justru akan menyulitkan penegakan hukum. "Bagaimana bisa adili ideologi? KUHAP kan bisa," tegasnya.

Partogi mengatakan, aparat tidak perlu takut salah menangkap seseorang yang diduga sebagai teroris hanya karena belum jelasnya persoalan definisi terorisme.

Dia menjelaskan, ketika seseorang merupakan anggota Jamaah Ansarut Daulah (JAD) yang secara internasional sudah disebut teroris, lantas mau apa dia ada di Indonesia kalau bukan untuk berbuat teror.

“Itu sudah bukti permulaan yang cukup. Jangan disamakan dengan pidana umum," tegasnya.

Menurutnya, di negara lain, bukti permulaan itu cukup seperti kartu anggota. Tapi kategori ringan beratnya bisa dilihat misalnya apakah dia sudah merakit bom atau belum.

“Kalau sudah mulai ada radar berarti sudah bisa ditangkap. Di sini (RUU) bukti permulaan cukup bisa ditangkap 14 hari," katanya.

Partogi Nainggolan mengatakan perdebatan soal definisi terorisme dalam revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak boleh berlarut-larut.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News