Franchise Muhammadiyah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Franchise Muhammadiyah
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Sebagaimana MIAI, ormas besar Islam yang menjadi pendukung utama Masyumi  adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Setelah kemerdekaan 1945 Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan maklumat politik untuk memberi hak kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik, maka berdirilah Partai Masyumi pada 1945.

Partai ini menjadi semacam partai konfederasi yang menjadi payung semua kekuatan sosial-politik Islam. NU dan Muhammadiyah menjadi tulang punggung partai itu.

Akan tetapi, kemudian dua kekuatan besar itu berpisah dan NU keluar dari Partai Masyumi dan mendirikan sendiri Partai NU. Pada Pemilu 1955 PNI (Partai Nasional Indonesia) menjadi juara, lalu Masyumi dan NU berada di runner up dan juara ketiga. Seandainya Masyumi tidak pecah maka akan menjadi penjadi pemenang pemilu.

Kepentingan dan aspirasi politik yang berbeda akhirnya memisahkan dua kekuatan besar itu. Keduanya terpisah dan tidak bisa benar-benar dipertemukan lagi.

Di masa kekuasaan Bung Karno, politik Islam dianggap sebagai lawan yang berbahaya. Bung Karno menciptakan nasakom (nasional, agama, dan komunis) yang didukung NU. Masyumi menjadi oposisi Bung Karno dan akhirnya dibubarkan pada 1960.

Di masa kekuasaan Soeharto kekuatan Islam politik ditekan habis. Partai-partai Islam dipaksa untuk melakukan merger menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Di bawah tekanan politik yang keras dari rezim Orde Baru Soeharto, kekuatan Islam tiarap dari aktivitas politik dan lebih konsen pada gerakan sosial-keagamaan.

Menjelang suksesi 2024 yang krusial, NU dan Muhammadiyah menjaga jarak dari partai politik yang dibidaninya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News